Ijtihad Sebegai Tugas
Perjuangan Akal
Oleh:
Kharisudin Aqib
A.
Muqaddimah
بسم الله الرحمن الرحيم
“Agama adalah akal, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak
memiliki akal”, “agama seseorang adalah akalnya”.
Kedua ungkapan tersebut adalah sabda
Nabi, seorang yang tidak berkata berdasarkan hawa nafsunya, tetapi senantiasa
mengikuti wahyu.artunya kebenaran dari ungkapan tersebut juga dapat dijadikan
rujukan, bahwa Islam memberikan posisi yang sangat sakral terhadap akal.
Sehingga dapat dimaklumi mengapa ayat-ayat suci al-Qur’an banyak mengingatkan
manusia untuk mempergunakan akal sebagai alat bahkan sumber dari kebenaran itu
sendiri.
Agama adalah
wahyu bukan akal, sebagaimana kaum antroposentris berpandangan. Tetapi agama (wahyu)
tidak mungkin dapat diterima oleh manusia kecuali dengan menggunakan akal.
Hanya akallah yang dapat memahami informasi wahyu. Dan tergantung pada kualitas
akalnya, kualitas keagamaan seseorang. Menurut para filosofi musim, produk
Tuhan yang pertama adalah akal. Karena sifat kreatif Tuhan, maka muncullah
(emanasi) akal pertama. Bahkan seseorang mungkin menjadi filosof dan dapat
berinteraksi dengan Jibril (sebagai akal ke sepuluh) adalah karena pengesahan
akalnya yang telah mencapai tingkatan tertinggi (‘aqlun mustfadz).
Demikian juga seseorang dapat menjadi Nabi karena akal dasarnya (‘aqlun
hayula) merupakan akal tertinggi.
Islam sebagai
agama yang terakhir, merupakan agama manusia pada fase terakhir dari
peradabannya. Sebuah peradaban manusia dewasa. Manusia rasional yang mandiri.
Manusia Obyektif yang eksploratif. Manusia kreatif dan inovatif. Maka sudah
sewajarnya manakala Allah memberikan tata aturan kehidupan (syari’at)
yang rasional dan layak uji. Serta memberikan rangsangan yang besar terhadap
eksplorasi alam semesta dan pemberdayaan akal sebagai instrumen penting dalam
kehidupannya. Bahkan mu’jizat nabi yang tersebar pun (al-Qur’an)
bersifat rasional (‘aqli), bukan bersifat indrawi (hissi),
sebagaimana mu’jizat para nabi terdahulu.
B.
Pengertian
dan Ruang Lingkup Ijtihad
Secara lughawi
(bahasa) kata ijtihad berarti berusaha dengan sungguh-sungguh. Sedangkan
secara istilah, ijtihad bermakna menetapkan atau menggali hukum dari sumbernya
dengan penuh kesungguhan. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa ijtihad adalah
terminologi praktis dalam kajian hukum islam. Akan tetapi dalam disiplin kajian
keislaman, ijtihad memiliki makna luas dan lintas disiplin, yaitu semua bentuk
upaya dan kerja keras akal (intelektual) dalam rangka menegakkan kalimat
A;;ah di muka bumi. Satu prespektif dengan kata ijtihad ini adalah kata jihad
dan mujahadah. Keduanya memiliki prespektif perjuangan yang gigih
dalam rangka menegakkan kalimat Allah. Jihad berkonotasi fisik-materil,
sedangkan mujahadah adalah moril-spirituil. Ketiga terminologi (ijtihad,
jihad, dan mujahadah) inilah yang akan menentukan derajat seseorang di hadapan
Allah.
C.
Komponen-komponen
dalam Ijtihad
Dalam melakukan
ijtihad ada empat komponen yang sangat terkait antara yang satu dengan lainnya.
Keempat komponen itu adalah akal, ayat, akhlak dan ilmu.
Akal merupakan komponen utama yang bersifat mauhibi (anugerah
Allah). Ia adalah suatu kelembutan spiritual yang bersifat [otensial. Akal
telah memiliki ukuran tertentu yang bersifat genetik, ia akan dapat menjadi
lebih baik atau semakin menurun kepekaan dan kecerdasannya berdasarkan
pemeliharaan dan pengesahannya.
Ayat adalah tanda-tanda dari rumus yang telah ditetapkan oleh Allah
untuk kepentingan manusia. Ia dapat berbentuk rumus-rumus atau hukum alam (al-ayat
al-kauniyah), adakalanya berupa rumus-rumus sosial (al-ayat al-qauliyah).
Ketiga jenis ayat tersebut merupakan obyek ijtihad. Khususnya ayat-ayayt jenis
verbal (qauliyah). Karena pada umumnya, ijtihad akan mengambil dasar
formal pada ayat-ayat verbal yang disakralkan. Bukan pada ayat-ayat yang
berbentuk lain secara tradisional difahami secara dikotomik.
Akhlaq adalah sikap mental yang telah mampu melahirkan aktifitas yang
bersifat reflektif. Ia merupakan sumber energi dan motivasi dari segala perilaku
dan gerak sadar manusia. Termasuk di dalamnya adalah motivasi (niat)
melakukan ijtihad. Akhlaq yang baik akan senantiasa melahirkan kebaikan, dan
akhlaq yang buruk akan senantiasa melahirkan kejahatan. Dan persyaratan tidak
resmi dari komponen ijtihad adalah akhlaq ini. Apakah seseorang berijtihad
murni karena Allah atau karena yang lain. Ketulusan hati karena Allah yang akan
memberikan nuansa pada kemaslhatan dari produk ijtihad seorang mujtahid.
Ilmu yang dimaksud dengan ilmu ini adalah pengetahuan tentang
kaidah-kaidah ayat-ayat Allah. Baik yang berupa ayat qauliyah, kauniyah maupun
insaniyah (nafsaniyah). Hanya dengan memahami tentang kaidah-kaidah
ayat-ayat tersebut manusia dapat mendayagunakan ciptaan Allah untuk kepentingan
kesejahteraannya. Dan dengan menguasai ilmu-ilmu tersebut manusia dapat
melaksanakan fungsi kekhalifahan Tuhan di muka bumi ini. Dan mengkoordinasikan
keempat komponen ijtihad itulah fungsi kreatif akal.
D.
Epistimologi
Ijtihad
Ijtihad secar
praktis melibatkan subyek yang disebut mujtahid. Dia adalah seorang
figur tokoh dalam ilmu fiqih (faqih) yang memiliki otoritas untuk
menetapkan kebijaksanaan hukum Islam. Para ulama’ fiqh telah memberikan
batasan-batasan dan syarat yang harus dipenuhi oleh seorang yang dapat memiliki
otoritas untuk berijtihad. Diantaranya adalah pemahaman tentang bahasa Arab
(sebagai bahasa al-Quran dan al-Hadits), faham tentang ‘Ulumul Qur’an, ‘Ulumul
Hadits, dan mengetahui maksud-maksud hukum syara’. Hal-hal tersebut adlah
berkaitan dengan batasan praktis makna ijtihad dalam prespektif hukum Islam.
Sedangkan dalam
prespektif pemikiran, mujtahid tidak harus personal. Tetapi dapat juga institusional.
Suatu kelompok profesi yang memiliki komitmen dalam menegakkan syari’at
Islam. Demikian juga seorang mujtahid secara personal tidaklah harus seorang
ulama dalam pengertian klasik (agamawan atau kerohanian). Ia dapat berwujud
tokoh intelektual-profesional yang memiliki komitmen dan background ilmu
keagamaan yang memadai. Otoritas ijtihad dari para mujtahid, baik fardi
(individual), walapun jama’i (kolektif), hanya mengikat pada
keluarga yang terikat secara organisasi padanya. Sedangkan ijtihad yang
otritasnya berlaku untuk umum, hanyalah ijtihad yang mendapat legalitas dari ulil
amri.
Ijtihad dapt
dilakukan dan bahkan harus dilaksanakan oleh subyek yang memiliki otoritas,
baik yang bersifat kelimuan maupunformal adalah jika di suatu tempat terjadi
permasalahn yang status hukumnya perlu mendapatkan penegasan dari hukum syara’.
Yaitu dengan melakukan analisa yang mendalam terhadap suatu kasus yang sedang
terjadi. Selanjutnya dicarikan relefansinya dengan informasi ayat-ayat verbal (al-quran
dan al-sunah) dengan memperhatikan maqashidud-syariah, maksud-maksud
dibentuknya aturan oleh Allah. Dengan menggunakan pisau analisa ayat-ayat non
verbal. Aka dengan ijtihad yang melibatkan pertimbangan yang bersifat
interdisipliner tersebut, diharapkan kemaslahatan manusia dari adanya syariat
Islam akan semakin terasakan.
E.
Penutup
Makalah ini
adalah gagasan dan pemikiran kreatif dalam memberikan wacana lain dalam hal
ijtihad yang secara tradisional bermakna fiqhiy (kasus hukum Islam).
Karena dalam wacana pemikiran Islan dan dalam kaitan perkembangan hukum yang
sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zaman ijtihad dapat bermakna luas. Yakni
seluruh usaha yang sungguh-sungguh dalam rangka menegakkan kalimat Allah dalam
prespektif intelektual adalah dapat dikatakan sebagai ijtihad. Sebaimana juga
setiap perjuangan penegakan kalimat Allah dalan prespektif – fisik material
dapat dikatakan sebagai jihad. Demikian juga perjuangan yang berprespektif
moral-spiritual dapat dikatakan sebagai mujahadah.( metafisika )
Comments[ 0 ]
Posting Komentar