Latar Belakang Munculnya Tarekat di Dunia Islam
Oleh; Kharisudin Aqib
al-Faqir.
Jika ditela’ah secara sosiologis
dengan lebih mendalam, tampak ada hubungan antara latar belakang lahirnya trend
dan pola hidup sufistik dengan
perubahan dan dinamika kehidupan masyarakat. Sebagai contoh adalah munculnya
gerakan kehidupan zuhud dan ‘uzlah yang dipelopori oleh Hasan
al-Bashri (110 H.) dan Ibrahim Ibn Adham (159 H.). Gerakan ini muncul sebagai
reaksi terhadap pola hidup hedonistik (berfoya-foya), yang dipraktekkan oleh
para pejabat Bani Umayyah. Demikian juga berkembangnya
tasawuf filosofis yang dipelopori oleh
Abu Mansur Al-Hallaj (309 H.). dan Ibn Arabi (637 H.), tampaknya tidak bisa
terlepas dari adanya pengaruh gejala global masyarakat Islam, yang cenderung
tersilaukan oleh berkembangnya pola hidup rasional. Hal ini merupakan pengaruh
berkembangnya filsafat dan kejayaan para filosof peripatetik, seperti;
al-Kindi, Ibn Sina, Al-Farabi, dan lain-lain.
Demikian juga halnya,
munculnya gerakan tasawuf sunni yang dipelopori oleh al-Qusyairi, al-Ghazali
dan lain-lain, juga tidak terlepas dari dinamika masyarakat Islam pada saat
itu. Mereka banyak mengikuti pola kehidupan sufistik yang menjauhi syari’at,
dan tenggelam dalam keasikan filsafatnya. Sehingga sebagai antitesanya,
munculah gerakan kembali ke syari’at dalam ajaran tasawuf, yang dikenal dengan
istilah tasawuf sunni.
Adapun tarekat, sebagai
gerakan kesufian populer (massal), sebagai bentuk terakhir gerakan tasawuf,
tampaknya juga tidak begitu saja muncul. Kemunculannya tampaknya lebih dari
sebagai tuntutan sejarah, dan latar belakang yang cukup beralasan, baik secara
sosiologis, maupun politis pada waktu itu.
Setidaknya ada dua
faktor yang menyebabkan lahirnya gerakan tarekat pada masa itu, yaitu faktor
kultural dan struktur. Dari segi politik, dunia Islam
sedang mengalami krisis hebat. Di bagian barat dunia Islam, seperti : wilayah
Palestina, Syiria, dan Mesir menghadapi serangan orang-orang Kristen Eropa,
yang terkenal dengan Perang Salib. Selama lebih kurang dua abad (490-656 H. /
1096-1258 M.) telah terjadi delapan kali peperangan yang dahsyat.
Di bagian timur, dunia
Islam menghadapi serangan Mongol yang haus darah dan kekuasan. Ia melahap
setiap wilayah yang dijarahnya. Demikian juga halnya di Baghdad, sebagai pusat kekuasaan dan
peradaban Islam. Situasi politik kota Baghdad tidak menentu, karena selalu terjadi perebutan kekuasan di antara
para Amir (Turki dan Dinasti Buwihi). Secara formal khalifah masih diakui,
tetapi secara praktis penguasa yang sebenarnya adalah para Amir dan
sultan-sultan. Keadaan yang buruk ini
disempurnakan (keburukannya) oleh Hulagu Khan yang memporak porandakan pusat
peradaban Umat Islam (1258 M.).
Kerunyaman politik dan
krisis kekuasaan ini membawa dampak negatif bagi kehidupan umat Islam di
wilayah tersebut. Pada masa itu umat Islam mengalami masa disintegrasi sosial
yang sangat parah, pertentangan antar golongan banyak terjadi, seperti antara
golongan sunni dengan syi’ah, dan golongan Turki dengan golongan Arab dan Persia.
Selain itu ditambah lagi oleh suasana banjir yang melanda sungai Dajlah yang
mengakibatkan separuh dari tanah Iraq menjadi rusak. Akibatnya,
kehidupan sosial merosot. Keamanan terganggu dan kehancuran umat Islam terasa
di mana-mana.
Dalam situasi seperti itu wajarlah
kalau umat Islam berusaha mempertahankan agamanya dengan berpegang pada doktrinnya
yang dapat menentramkan jiwa, dan menjalin hubungan yang damai dengan sesama
muslim.
Masyarakat Islam memiliki warisan
kultural dari ulama sebelumnya yang dapat digunakan, sebagai pegangan yaitu
doktrin tasawuf, yang merupakan aspek kultural yang ikut membidani lahirnya
gerakan tarekat pada masa itu. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah
kepedulian ulama sufi, mereka memberikan pengayoman masyarakat Islam yang
sedang mengalami krisis moral yang sangat hebat (ibarat anak ayam kehilangan
induk). Dengan dibukanya ajaran tasawuf kepada orang awam, secara praktis lebih
berfungsi sebagai psikoterapi yang bersifat massal. Maka kemudian banyak orang
awam yang memasuki majelis dzikir dan halaqah-nya para sufi, yang lama
kelamaan berkembang menjadi suatu kelompok tersendiri (eksklusif) yang disebut
dengan tarekat.
Di antara ulama sufi
yang kemudian memberikan pengayoman kepada masyarakat umum untuk mengamalkan
tasawuf secara praktis (tasawuf ‘amali), adalah Abu Hamid Muhammad al-Ghazali
(w. 505 H./1111 M.). Kemudian menurut Al-Taftazani
diikuti oleh ulama’ sufi berikutnya seperti
syekh Abd. Qadir al - Jailani dan Syekh Ahmad ibn Ali al-Rifa’i. Kedua
tokoh sufi tersebut kemudian dianggap sebagai pendiri Tarekat Qadiriyah dan
Rifa’iyah yang tetap berkembang sampai sekarang.
Menurut Harun Nasution
sejarah perkembangan tarekat secara garis besar melalui tiga tahap yaitu :
tahap khanaqah, tahap thariqah dan tahap tha’ifah.
a.Tahap khanaqah
Tahap khanaqah (pusat pertemuan
sufi), dimana syekh mempunyai sejumlah murid yang hidup bersama-sama dibawah
peraturan yang tidak ketat, syekh menjadi mursyid yang dipatuhi. Kontemplasi
dan latihan-latihan spiritual dilakukan secara individual dan secara kolektif.
Ini terjadi sekitar abad X M. Gerakan ini mempunyai masa keemasan tasawuf.
b. Tahap thariqah
Sekitar abad
XIII M. di sini sudah terbentuk ajaran-ajaran, peraturan dan metode tasawuf.
Pada masa inilah muncul pusat-pusat yang mengajarkan tasawuf dengan silsilahnya
masing-masing. Berkembanglah metode-metode kolektif baru untuk mencapai
kedekatan diri kepada Tuhan. Disini tasawuf telah mencapai kedekatan diri
kepada Tuhan, dan disini pula tasawuf telah mengambil bentuk kelas menengah.
c. Tahap tha’ifah
Terjadinya pada sekitar
abad XV M. Di sini terjadi transisi misi ajaran dan peraturan kepada pengikut.
Pada masa ini muncul organisasi tasawuf yang mempunyai cabang di tempat lain.
Pada tahap tha’ifah inilah tarekat mengandung arti lain, yaitu
organisasi sufi yang melestarikan ajaran syekh tertentu. Terdapatlah tarekat-tarekat
seperti Tarekat Qadiriyah, Tarekat Naqsyabandiyah, Tarekat Syadziliyah dan
lain-lain.
Sebenarnya, munculnya
banyak tarekat dalam Islam pada garis besarnya sama dengan latar belakang
munculnya banyak madzhab dalam figh dan banyak firqah dalam ilmu kalam. Di dalam kalam berkembang
madzhab-madzhab yang disebut dengan firqah, seperti : khawarij,
Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Di sini istilah yang
digunakan bukan mazhab tetapi firqah, di dalam figh juga berkembang
banyak firqah yang disebut dengan madzhab seperti madzhab Hanafi,
Maliki, Hanbali, Syafi’i, Zhahiri dan Syi’i. Di dalam tasawuf juga berkembang
banyak madzhab, yang disebut dengan thariqah. Thariqah dalam tasawuf jumlahnya
jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan perkembangan madzhab dan firqah dalam
fiqh dan kalam, oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa tarekat juga memiliki kedudukan atau posisi sebagaimana madzhab dan firqah-firqah
tersebut di dalam syari’at Islam.
Tujuan Orang Bertarekat
Tarekat sebagai
organisasi para peniti jalan spiritual (salik) dan Sufi, pada dasarnya
memiliki tujuan yang sama, yaitu mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ila
Allah). Akan tetapi sebagai organisasi para salik yang
kebanyakan diikuti masyarakat awam, dan para pemula (thalib al - mubtadi’in),
maka akhirnya dalam tarekat terdapat tujuan lain yang diharapkan akan dapat
mendukung tercapainya tujuan pertama dan utama tersebut. Sehingga secara garis
besar orang bertarekat karena memiliki tiga tujuan pokok. Ketiga tujuan pokok ,
yaitu; tazkiyatun nafsi, taqarrub ila Allah,mengambil berkah (tabarruk).
1.Tazkiyatun Nafsi
Tazkiyatun nafsi atau penyucian jiwa adalah suatu
upaya pengkondisian jiwa agar merasa tenang, tentram dan senang berdekatan
dengan Allah (‘ibadah). Yaitu
dengan penyucian jiwa dari semua kotoran dan penyakit “hati” atau
penyakit jiwa. Tujuan ini merupakan persyaratan yang harus dipenuhi
oleh seorang salik atau ahli tarekat. Bahkan dalam tradisi tarekat, tazkiyatun
nafsi ini dianggap sebagai tujuan pokok. Karena dengan bersihnya jiwa dari
berbagai kotoran dan penyakit-penyakitnya, maka akan secara otomatis menjadikan
seseorang untuk mudah mendekati Allah. Proses dan tujuan ini dilaksanakan
dengan merujuk pada firman Allah dalam al-Qur’an Surat al-Syams, ayat: 7-9.
ونفس وما
سواها, فألهمها فجورها وتقواها, قد أفلح من زكاهاوقد خاب من دساها.
Artinya;
“Dan
demi jiwa dan penyempurnaannya, maka kepadanya diilhamkan jalan kefasikan dan
ketakwaan. Maka beruntunglah orang yang mensucikannya, dan celakalah bagi orang
yang mengotorinya”.QS. al-Syams (91):7-9.
Penyucian jiwa dapat diwujudkan dengan melakukan beberapa amalan kesufian, seperti dzikr,
‘ataqah, menepati syari’at, dan mewiridkan amalan-amalan sunnah tertentu,
serta berperilaku zuhud dan wara’.
2. Taqarrub ila Allah
Mendekatkan diri kepada
Allah (taqarrub ila Allah) sebagai tujuan utama para sufi dan ahli
tarekat, biasanya diupayakan dengan beberapa cara yang cukup mistis dan
filosofis. Cara-cara tersebut dilaksanakan di
samping pelaksanaan dan upaya mengingat Allah (dzikir) secara terus -
menerus, sehingga sampai tak sedetikpun lupa kepada Allah. Di antara cara yang
biasanya di lakukan oleh para pengikut tarekat untuk dapat mendekatkan diri
kepada Allah dengan lebih effektif dan etfisien adalah; tawashul, khalwat,
dan muraqabah.
3.Mengambil Berkah
Sebagai sebuah
perkumpulan (jam’yyah) yang menghimpun para calon sufi (salik) yang
kebanyakan terdiri dan masyarakat awam, dan tidak sedikit yang berprediket
seorang pemula (mubtadi‘in) dalam hal ilmu keislaman, maka dalam
bertarekat ada juga orang yang bertujuan sudah keluar dari tujuan yang
seharusnya menjadi niat dan motifasi orang bertarekat. Tetapi karena tarekat
menampung semua lapisan umat, maka dalam
terdapat amalan-amalan yang merupakan “konsumsi” masyarakat awam.
Amalan-amalan tersebut kebanyakan bertujuan duniawi, seperti : mengharap berkah
(tabarruk), keselamatan, kesejahteraan hidup, kesaksesan usaha, dll.
Karena adanya tujuan-tujuan praktis tersebut, maka dalam tarekat terdapat
amalan-amalan tertentu yang berorientasi duniawi. Tetapi justru amalan-amalan
inilah yang biasanya mendominasi aktifitas para salik yang ada pada
tataran pengikut, dan lebih populer dalam kehidupan rnasyarakat Islam. Dan
karena ini juga, hingga tidak banyak ahli tarekat (pengikut tarekat), yang
dapat meningkat maqam-nya sampai pada tingkatan sufi besar, atau
mencapai maqam al-ma‘rifah. Di antara amalan-amalan tersebut adalah; wirid,
manaqib, ratib, dan hizib.
Amalan-amalan
dalam Tarekat
1. Amalan khusus :
Yang dimaksud dengan
amalan khusus di sini adalah amalan yang benar-benar harus diamalkan oleh
pengikut sebuah tarekat, dan tidak diamalkan oleh orang di luar tarekat atau
pengikut tarekat lain. Amalan khusus ini bisa jadi bersifat individual, maupun
kolektif.
a. Individual
Yang dimaksud dengan amalan
individual adalah amalan yang harus dikerjakan oleh seorang murid (pengikut)
tarekat. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa, pelaksanaan amalan tersebut
dilakukan secara berjama’ah. Amalan-amalan
individual itu adalah:
a). Dzikir
Kata dzikir sebenarnya merupakan
ungkapan dan pemendekatan kalimat “dzikrullah” ,Ia merupakan amalan khas
yang mesti ada dalam setiap tarekat. Yang dimaksud dengan dzikir dalam
suatu tarekat adalah mengingat dan menyebut nama Allah, baik secara lisan maupun
secara batin (jahr / sirri atau khafi). Di dalam tarekat, dzikir
diyakini sebagai cara yang paling efektif dan efesien untuk membersihkan
jiwa dari segala macam kotoron dan penyakit-penyakitnya, sehingga hampir semua
tarekat mempergunakan metode ini. Bahkan dalam istilah tasawuf, setiap
yang disebut tarekat, maka yang dimaksudkan adalah tarekat dzikir.
b). Muraqabah
Kontemplasi atau muraqabah duduk
bertafakkur atau mengheningkan cipta dengan penuh kesungguhan hati, dengan
penghayatan bahwa dirinya seolah-olah berhadapan dengan Allah, meyakinkan hati
bahwa Allah senantiasa mengawasi dan memperhatikannya. sehingga dengan “latihan” muraqabah
ini seseorang akan memiliki nilai ihsan yang baik, dan akan dapat
merasakan kehadiran Allah di mana saja dan kapan saja ia berada.
Ajaran muraqabah ini
bermacam-macam, dan memiliki beberapa pembagian. Ada di antara tarekat yang mengajarkan satu
macam (tingkatan), ada yang empat. ada yang tujuh, dan bahkan ada yang
dua puluh macam atau tingkatan muraqabah.
c). Rabithah
Rabithah adalah mengingat rupa guru (syekh)
dalam ingatan seorang murid. Praktek rabithah ini merupakan adab dalam
pelaksanaan dzikir seseorang. Yaitu sebelum seorang dzakir melaksanakan
dzikirnya, maka terlebih dahulu ia harus mereproduksi ingatannya kepada syekh
yang telah menalqin dzikir yang akan dilaksanakan tersebut. Bisa berupa wajah
syekh, seluruh pribadinya, atau prosesi ketika ia mengajarkan dzikir
kepadanya. Atau bisa juga hanya sekedar mengimajinasikan seberkas sinar
(berkah) dari syekh tersebut.
Rabithah ini
harus dilakukan oleh seorang dzakir dengan maksud antara lain sebagai
pernyataan bahwa apa yang diamalkan itu adalah berdasarkan pengajaran dari
seorang syekh yang memiliki otoritas (semacam referensi). Rabithah juga berfungsi sebagai mengambil dukungan
spiritual dari seorang syekh. Dengan
melakukan rabithah yang benar dan sempurna, seorang dzakir akan
terhindar dari was–was (keraguan) dan godaan setan. Rabithah ini terkadang juga
disebut tawajjuh, karena proses rabithah
harus mengimajinasikan diri seolah – olah sedang berhadapan dengan
syekhnya, sebagaimana syehnya mengajarkan dzikir kepadanya dahulu.
d). Mengamalkan Syari’at
Dalam tarekat (yang kebanyakan
merupakan jama’ah para sufi sunni), menepati syari’at merupakan bagian
dari bertasawuf (meniti jalan mendekati kepada Tuhan). Karena menurut keyakinan
para sufi sunni, justru prilaku kesufian itu dilaksanakan dalam rangka
mendukung tegaknya syari’at. Sedangkan ajaran-ajaran dalam agama Islam, khususnya
peribadatan mahdlah, merupakan media atau sarana untuk membersihkan
jiwa. Seperti: bersuci dari hadas, shalat, puasa maupun haji.
e). Melaksanakan Amalan-Amalan Sunnah
Di antara cara yang diyakini dapat
membantu untuk membersihkan jiwa dan
segala macam kotoran dan penyakit-penyakitnya, adalah amalan -amalan
sunnah. Sedangkan di antara amalan-amalan tersebut yang diyakini memiliki
dampak besar terhadap proses dan sekaligus hasil dari tazkiyat aI-nafsi adalah:
membaca al-Qur’an dengan menghayati arti dan maknanya, melaksanakan shalat
malam (tahajjud), berdzikir di malam hari, banyak berpuasa sunnah dan
bergaul dengan orang-orang shaleh.
f). Berprilaku zuhud dan Wara’
Kedua prilaku sufistik ini akan
sangat mendukung upaya tazkiyat al-nafsi, karena zuhud adalah
tidak adanya ketergantungan hati pada harta dan hal-hal yang bersifat dunia
lainnya. Dan Wara’ adalah sikap hidup yang selektif, orang yang
berprilaku demikian tidak berbuat sesuatu, kecuali benar-benar halal dan
benar-benar dibutuhkan. Dan rakus terhadap harta akan
mengotori jiwa demikian juga banyak berbuat yang tidak baik, memakan yang tidak
jelas status lahal-haramnya (syubhat) dan berkata sia-sia akan
memperbanyak dosa dan menjauhkan diri dari Allah, karena melupakan Allah.
g). Khalwat atau ‘uzlah
Khalwat atau ‘uzlah adalah
mengasingkan diri dari hiruk pikuknya urusan duniawi. Sebagian tarekat tidak
mengajarkan khalwat dalam artian fisik, karena menurut kelompok tarekat
ini khalwat cukup dilakukan secara hati (khalwat qalbiyah). Ajaran tentang khalwat ini dilaksanakan dengan
mengambil I‘tibar kepada sejarah perjalanan spiritual (sirah) Nabi,
ketika beliau sering melakukan pengasingan diri (tahannuts) atau khalwat
di Gua Hira’, menjelang masa pengangkatan kenabiyannya.Tahannus atau khalwat Rasulullah saw.
di Gua Hira’ tidak termasuk dalam syari’at Islam, karena pada sa’at itu Rasul
belum diangkat sebagai nabi atau rasul. Tetapi dalam pandangan ahli
tasawuf semua perilaku Rasul baik
sesudah maupun sebelum pengangkatan (bi’tsah) kerasulannya merupakan
contoh dan teladan bagi kehidupan
seorang muslim.
Dan dalam pelaksanaannya, khalwat ini
diisi dengan berbagai macam kegiatan ibadah (mujahadah) atau merupakan
upaya yang sungguh-sungguh dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam tradisi Tarekat Naqsyabandiyah
di Jawa dan Sumatra istilah khalwat,
Iebih dikenal dengan istilah suluk
b. Amalan Kolektif
atau Jama’ah
Yang dimaksud dengan amalan yang bersifat kolektif atau jama’ah adalah
amalan khusus yang harus dilakukan oleh pengikut tarekat tertentu sebagai
sebuah jam’iyyah (organisasi). Maka pada dasarnya amalan tersebut bersifat ceremonial
(upacara) yang diikuti oleh komponen-komponen tarekat secara lengkap, yang
meliputi mursyid atau wakilnya, beserta para muridnya. Amalan-amalan yang
bersifat kolektif adalah:
1). Khataman
Kegiatan
ini merupakan upacara ritual yang biasanya dilaksanakan secara rutin di semua
cabang kemursyidan. Ada
yang menyelenggarakan sebagai kegiatan mingguan, tetapi banyak juga yang
menyelenggarakan kegiatannya sebagai kegiatan bulanan. Walaupun ada sementara
kemursyidan yang menamakan kegiatan ini dengan istilah lain, yaitu khususiyah
atau tawajjuhan, tetapi pada dasarnya sama, yaitu pembacaan ratib
atau aurad khataman sebuah
tarekat.
Dari segi tujuannya, khataman merupakan
kegiatan individual, yakni amalan tertentu yang harus dikerjakan oleh seorang
murid yang telah mengkhatamkan pendidikan dzikir sirri (tarbiyat dzikir
latha’if). Dan khataman sebagai suatu ritus (upacara sakral)
dilakukan dalam rangka tasyakuran atas keberhasilan seorang murid dalam
melaksanakan sejumlah beban dan kewajiban .
Tetapi
dalam prakteknya khataman merupakan upacara ritual yang “resmi“ lengkap dan
rutin, sekalipun mungkin tidak ada yang sedang syukuran khataman.
Kegiatan khataman ini dipimpin langsung oleh mursyid atau asisten
mursyid (khalifah kubra). Sehingga forum khataman sekaligus berfungsi sebagai forum tawajjuh,
serta silaturrahmi antara para ikhwan.
Kegiatan
khataman ini biasanya juga disebut mujahadah, karena memang
upacara dan kegiatan ini dimaksudkan untuk mujahadah (bersungguh –
sungguh dalam meningkatkan kwalitas spiritual para salik), baik dengan
melakukan dzikir dan wirid, maupun dengan pengajian dan bimbingan
ruhaniyah oleh mursyid.
2. Amalan-amalan Umum
Yang dimaksud dengan amalan umum
adalah yang ada dan menjadi tradisi
dalam tarekat, tetapi amalan juga biasa
dilakukan oleh masyarakat Islam di luar pengikut tarekat.
a. Amalan Individual
Yang dimaksud dengan amalan umum
individual adalah amalan yang biasa dijerjakan oleh para pengikut tarekat dan
orang Islam secara umum, serta
dikerjakan secara perorangan. Adapun amalan tersebut adalah:
1). Wirid
Wirid adalah suatu amalan yang harus
dilaksanakan secara terus menerus (istiqamah) pada waktu-waktu tertentu
dan dengan jumlah bilangan tertentu juga. seperti setiap selesai mengerjakan
shalat lima
waktu, atau waktu-waktu tertentu Iainnya. Wirid ini biasanya berupa
potongan-potongan ayat, atau shalawat atau nama-nama indah Tuhan (al-asma’
al-husna). Perbedaannya dengan dzikir di antaranya adalah; kalau dzikir
diijazahkan oleh seorang mursyid atau syekh dalam prosesi khusus (bai‘at,
talqin, atau khirqah). Sedangkan wirid tidak harus
diijazahkan oleh seorang mursyid dan tidak diberikan dalam prosesi khusus.
Sedangkan dari segi tujuannya juga memiliki perbedaan diantara keduanya. Dzikir
dikerjakan hanya semata-mata ibadah (mendekatkan diri kepada Allah), sementara
wirid dikerjakan untuk tujuan-tu]uan tertentu yang bersifat keduniaan. Seperti
untuk kelancaran rizki (jalb aI-rizki), kewibawaan dan sebagainya.
2). Tawashul
Tawasshul atau berwashilah dalam upaya
mendekatkan diri kepada Allah yang biasa dilakukan di dalam tarekat adalah
suatu upaya atau cara (wasilah), agar pendekatan diri kepada Allah dapat
dilakukan dengan lebih ringan.
يا
أيها الذين أمنوا اتقوا الله وابتغوا اليه الوسيلة وجاهدو فى سبيله لعلكم بفلحون
“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah, dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya,
supaya kamu menjadi orang yang beruntung” .QS: al-Maidah (5):35.
Di antara bentuk bentuk tawasul yang
biasa dilakukan adalah berhadiah bacaan surat
al-fatihah kepada para syekh sejak dari Nabi sampai mursyid yang
mengajar dzikir kepadanya.
Tawasul biasanya juga dilaksanakan dengan
bentuk tawajjuh, yaitu menghadirkan wajah guru (mursyid) scolah-olah
berhadapan dengannya ketika akan mengerjakan dzikir. Istilah lain dari tawajjuh
ini adalah rabithah, yaitu mengikat ingatan tentang proses
pembai’atan atau wajah yang membai’at.Ada juga bentuk lain dalam tarekat yang
melaksanakan tawassul dengan istighraq (mengekspresikan diri
tenggelam dalam nur Muhammad), atau mengekspresikan bahwa dirinya adalah
Muhammad itu sendiri.
3). Hizib
Hizib secara bahasa beraati tentara,
tetapi do’a khusus tetapi sudah sangat populer di kalangan masyarakat Islam
(pesantren) disebut dengan hizib (lawannya hirish), adalah karena dengan do’a ini seseorang akan
memiliki kekuatan bagaikan orang yang memiliki tentara , karena khadam (pelayan
makhluk ghaib) yang ada dalam do’a tersebut.
Hizib adalah
suatu do’a yang cukup panjang , dengan lirik dan bahasa yang indah yang disusun oleh seorang ulama’ besar. Hizib ini biasanya merupakan do’a andalan
seorang syekh yang biasanya juga diberikan kepada para muridnya secaraijazah
yang jelas (ijazah sharih). Do’a ini diyakini oleh kebanyakan masyarakat
Islam (kebanyakan kaum santri) sebgai amalan yang memiliki daya katrol
spiritual yang sangat besar, terutama jika diperhadapkan dengan ilmu-ilmu gaib
dan kesaktian. Berikut ini adalah satu contoh jenis
hizib.
بسم الله الرحمن الرحيم : اللهم تحصنت بخفي لطف الله, بلطيف صنع الله,
بجميل ستر الله, دخلت في كنف الله, وتشفعت بسيدنا رسول الله صلى الله عليه
وسلم بدوام ملك الله لاحول ولاقوة إلا
بالله العلي العظيم .بياه×3 , أهيل ×3 , أهياش ×3 ,أهيا شراهيا
حجبت نفسي بحجاب الله , ومنعتها بأيات الله وبأيات البينات وبذكر الحكيم , وبحق
قال من يحي العظام وهي رميم, جبرائيل عن يميني , وميكائيل عن يساري, وإسرافيل عن
خلفي , وسيدنا وحبيبنا محمدا صلى الله عليه وسلم أمامي, وعصى موسى في يدي فمن رأني
يهابني ×3 ,وختم سليمان علي لساني فمن تكلمت إليه قضى حاجاتي ×3 , ونور يوسف على وجهي فمن
رأني يحبني×3 , والله من ورائهم محيط بي هو المستعان على أعدائي , لا إله
الا الله الكبير المتعالى,وصلى الله على سيدنا محمد الأمة ,وكاشف الغمة, وعلى أله
وصحبه ورضاأ نفسه وزينة عرشه ومداد كلماته و الحمدلله رب العالمين
Artinya:
Dengan menyebut Asma Allah
Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang;
Ya Allah, aku berlindung
dengan kesamaran kelembutan Allah, kelembutan ciptaan Allah, keindahan tirai
Allah, dan aku masuk ke dalam penjagaan Allah, dan aku memohon syafa’at tuan
kami utusan Allah SAW. Dengan keabadian kerajaan Allah, yang tidak ada daya dan
kekuatan kecuali karena Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.Biyahin x3,
Uhailin x3, Ahyasyin x3, Ahyan, Syarahian,aku menutupi diriku dengan tutupnya Allah, dan
memagari diriku dengan ayat-ayat Allah, dan ayat-ayat kejelasan, dan dengan
sebutan Yang Maha Bijaksana (al-Qur’an), dan dengan kebenaran firman Allah “ Ia
berkata: siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh”.Malaikat Jibril dari samping kananku , Malaikat Mikail
ada dari samping kiriku, Malakikat Isrofil dari
arah belakangku, dan tuan dan kekasih kami (yaitu) Nabi Muhammad Saw.
Berada di hadapanku. Tongkatnya Nabi Musa di tanganku, maka siapa yang melihatku
akan gentar x3, cincinnya Nabi Sulaiman ada di lidahku, maka siapa saja
yang aku ajak bicara pasti akan menuruti kehendakku x3, cahayanya Nabi
Yusuf berada di wajahku, maka siapa yang memandangku akan mencintaiku
x3, dan untukku Allah mengelilingi mereka dari arah belakang , dan Dialah
penolong dari musuh-musuhku, ma tidak ada tuhan kecuali Allah Yang Maha Besar
lagi Maha mengungguli, Semoga Allah
memberikan kesejahteraan atas tuan kami Muhammad yang Ummi, sang penyingkap
kedukaan, dan juga atas keluarganya dan para sahabatnya berupa kerelaan
diri-Nya, hiasan singga sana-Nya, keluasan kalimat-kalimat-Nya, dan segala puji
bagi Allah, Sang pemelihara seluruh alam ”.
Walaupun hizib adalah susunan seorang wali mursyid, tetapi
sepengetahuan penulis do’a hizib tidak diberikan kepada para murid tarekat.
Akan tetapi hizib banyak diamalkan oleh ulama’ ahli ilmu hikmah (ilmu-ilmu
ketabiban dan kesaktian yang berdimensi islam). Sementera itu kebanyakan mursyid kurang sependapat dengan
pengamalan hizib (khususnya bagi murid tarekat), karena sehebat-hebatnya hizib
tidak berarti jika diperbandingkan dengan Surat
al-Fatihah. Dan juga ada seorang ahli
ilmu hikmah yang mengatakan, bahwa khadam (kandungan kekuatan spiritual) semua
hizib adalah jin muslim.
4). ‘Ataqah atau fida’
Akbar
‘Ataqah atau penebusan diri dilaksanakan
dalam rangka membersihkan jiwa dari kotoran atau penyakit-penyakit jiwa. Bahkan cara ini dikerjakan oleh sebagian tarekat
sebagai penebus harga surga, atau penebusan pengaruh jiwa yang tidak baik
(menghilangkan dorongan emosi dan tabi’at kebinatangan/untuk mematikan nafsu).
Bentuk dan cara ’ataqah ini,
adalah seperangkat amalan tertentu yang dilaksanakan dengan serius (mujadah),
seperti membaca surat al- ikhlas sebanyak 100.000 kali, atau membaca
kalimat tahlil dengan cabangnya sebanyak 70.000 kali, dalam rangka penebusan
nafsu amarah atau nafsu-nafsu yang lain. Dalam pelaksanaanya, ‘ataqah dapat
dilakukan secara kredit. Fida’ atau ‘ataqah ini biasanya juga
dilaksanakan oleh masyarakat santri di Pulau Jawa, mereka melakukannya untuk
orang lain yang sudah meninggal dunia.
2. Amalam Kolektif atau Jama’ah
Amalan umum yang
dilaksanakan secara atau berjama’ah itu
misalnya:
a. Istighatsah
Istighatsah sebenarnya berarti
permohonan atau semakna dengan do’a. Tetapi biasa nya yang dimaksud dengan
istighatsah adalah do’a bersama yang tidak mempergunakan kalimat-kalmat do’a
secara langsung, tetapi mempergunakan bacaan-bacaan ratib tertentu.
b. Manaqib
Manaqib sebenarnya adalah biografi seseorang,
tetapi biografi seorang sufi besar atau kekasih Allah (waliyullah) seperti
syekh Abd Qadir al-Jilaniy, atau Syekh Bahauddin al-Naqsyabandiy diyakini oleh
para pengikut tarekat memiliki kekuatan spiritual (barakah). Sehingga bacaan Manaqib seringkali
dijadikan sebagai amalan,
terutama untuk tujuan terkabulnya hajat-hajat tertentu. Amalan manaqib
Syekh Abdul Qadir al-Jilani bahkan bisa lebih populer dari pada Tarekat
Qadiriyah sendiri. Di Pulau Jawa misalnya, Tarekat Qadiriyah tidak banyak
dianut oleh masyarakat Islam pada
umumnya, bahkan secara organisasi tarekat ini tidak ada. Akan tetapi pengamal manaqib syekh Abd al- Qadir sangat besar, bahkan organisasi
pengamalnyapun juga sangat besar di pulau ini. Khususnya di wilayah Jawa Timur
dengan pusat kota
Jember. Begitu juga halnya, masyarakat umum ( kalangan santri maupun abangan),
banyak yang mengamalkan manaqib ini, walaupun bukan pengikut tarekat
c. Ratib
Ratib adalah seperangkat amalan yang
biasanya harus diwiridkan oleh para pengamalnya. Tetapi ratib ini merupakan
kumpulan dan beberapa potongan ayat, atau beberapa surat pendek , yang digabung dengan
bacaan-bacaan lain, seperti; istighfar, tasbih, shalawat. al-asma’ al-Husna,
dan kalimat thayyibah dalam suatu rumusan dan komposisi (jumlah
bacaan masing-masing) telah ditentukan dalam suatu paket amalan khusus. Ratib ini biasanya disusun
oleh seorang mursyid besar dan diberikan secara ijazah kepada para muridnya. Ratib
ini biasanya diamalkan oleh seseorang dengan tujuan untuk meningkatkan
kekuatan spititualnya dan wasilah dalam berdo’a untuk kepentingan dan
hajat-hajat besarnya.