Tektual dan kontektual
Dalam
penafsiran al-qur’an
Oleh : kharisudin aqib
A. Muqaddimah
Al-qur’an adalah
kalamullah (firman Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat
Jibril. Sebagai petunjuk bagi umat manusia untuk kebahagiaannya di dunia maupun
di akhirat. Sebagai petunjuk kehidupan yang diturunkan kepada nabi terakir,
maka sudah barang tentu sesuai untuk kehidupan manusia di zaman terakir dan di
setiap tempat di wilayah kehidupan manusia ini.
Persoalan
hidup umat islam, maupun persoalan memahami sumber ajaran (al-qur’an) yang di
hadapi umat islam pada masa hidupnya Rasulullah SAW. Dapat ditanyakan langsung
kepada Rasulullah. Karena Rasulullah adalah orang yang paling otoritatif dalam
penafsiran al-qur’an dan penjelasan terhadap maksud al-Syari’(Allah). Dan dalam kasus-kasus tertentu Rasulullah juga
menunggu jawaban langsung dari Allah, karena memang masa itu adalah masa
berlangsungnya turunnya wahyu dan penetapan syari’at. Dan memang proses
pensyari’atan adalah dengan model tadrij(bertahap),
dan begitu juga turunnya al-qur’an juga berangsur-angsur (manajjaman) sesuai sosiokultural dan bersifat kasuistik
Para
ulama’ sepakat bahwa al-qur’an sebagai sumber utama dan pertama ajaran islam
yang bersifat qath’iyyul wurud (pasti
keberadaannya), karena memang al-qur’an telah diriwayatkan secara mutawatir (diriwayatkan oleh sejumlah
orang yang tidak mungkin membuat kesepakatan dusta). Selain diriwayatkan oleh
public dan juga didukung oleh hafalan serta dokumentasi penulisan yang sangat
akurat. Namun demikian, dalam hal dalalah
(petunjuk yang terkandung dalam lafadh al-Qur’an), sejak semula (setelah
meninggalnya Rasulullah) telah terjadi perbedaan pendapat di antara para
sahabat Nabi, karena memang sifat dan karakteristik teks al-Qur’an yang
bersifat intrepatif.
Makalah
ini merupakan bahan diskusi kajian keislaman dengan teman sentral;”
Membangun Maradigma Keislaman Plural-Transendental “ dalam Lingkaran
Studi Ikatan Sarjana Nadlatul ‘Ulama’ Cabang Nganjuk.
B.
Ragam Pola Pemahaman Kandungan Al-Qur’an
Berdasarkan
polanya, pemahaman kandungan al-Qur’an dapat dibedakan dalam tiga pola. Yaitu
tiga produk pemahaman berikut; tafsir, ta’wil dan terjemah. Tafsir adalah
sebuah produk pemahaman terhadap al-Qur’an yang lebih menikberatkan pada
makna-makna lafadz dan kata-kata, dan lebih mengedepankan dasar periwayatan
sedangkan ta’wil lebih menikberatkan pada makna global dari suatu kalimat,
serta lebih mengedepankan pemahaman (dirawiyah). Sedangkan
tarjamah adalah pemindahan makna lafadz al-Qur’an ke dalam bahasa lain
dengan tetap mengikuti tertib penulisan mushhaf al-Qur’an.
Adapun
jika dilihat dari sumber pengambilannya, pemahaman al-qur’an dapat diklasifikasikan
dalam dua kategori, yakni; tafsir bil
ma’tsur , tafsir izdiwaji dan tafsir birra’yi. Tafsir bil ma’tsur
adalah model penafsiran (karya tafsir) yang hanya mendasarkan penafsirannya
kepada ayat-ayat, atau hadis-hadis atau penafsiran para sahabat. Sedangkan
tafsir birra’yi adalah penafsiran dengan mengandalkan pendapat atau hasil
analisisnya seorang mufassir berdasarkan
keilmuan yang ia miliki. Adapun tafsir Izdiwaji adalah sebuah produk penafsiran
yang di samping mendasarkan penafsirannya pada riwayat juga mendasarkan pada dirayah (penalaran).
Jika
dilihat dari segi method pembahasannya dapat pembahasannya dapat
diklasifikasikan dalam 4 model, yaitu; tafsir
tahlili, tafsir maudlu’I, tafsir ijmali. Tafsir Tahlily adalah sebuah karya
tafsir yang mempergunakan method analisis komperhensip (menyeluruh). Sedangkan
maudlu’I adalah karya tafsir dengan method tematik (hanya membahas tema
tertentu). Sedangkan tafsir muqarin adalah karya tafsir komparatif
(membandingkan penafsiran para mufassir lain). Adapun tafsir ijmali adalah
karya tafsir dengan method penafsiran global dalam kelimat atau ayat-ayat
tertentu.
Dan
jika dilihat dari segi corak keilmuan yang terkandung di dalamnya, dikenal
istilah tafsir ilmi, tafsir adabi, tafsir
sufi / isyari, tafsir ijtima’I , Tafsir ilmi adalah corak penafsiran yang
sarat dengan nuansa keilmuan. Sedangkan tafsir adabi adalah corak sebuah karya
tafsir yang lebih kental dengan kajian kesusastraan. Adapun tafsir sufi/isyari
adalah sebuah karya tafsir mistis. Adapun tafsir ijtima’I adalah karya tafsir
yang lebih mendominankan pada kajian kemasyarakatan.
Macam-macam
ragam karya tafsir yang dikenal dewasa ini, bahkan sejak masa klasik lebih
dapat menjadikan bukti bahwa al-Qur’an bersifat sangan interpretatif. Dan
kebenarannya masing-masing karya tafsir memiliki kebenarannya sendiri-sendiri,
sesuai dengan sudut pandan dan methode analisa yang mereka pergunakan. Pamilik
yang berhak menjustifikasi atau mengklaim atas kemutlakan penafsirannya.
C.
Pemahaman Tekstual
Pemahaman tekstual
adalah model pemahaman yang paling klasik. Hal ini dapat kita ketahui dari
tradisi kebanyakan sahabat Nabi yang dengan ketawadlu’-an (kerendahan hati)
karena penganggungannya kepada kepada kitab suci, tidak berani memahami
al-Qur’an kecuali sesuai dengan makna yang leterek (tekstual) dan berdasarkan
pemahaman Rasulullah saw. Hal ini juga dikarenakan adanya ancaman Nabi terhadap
Khaththab ra. Yang telah pernah berani memahami al-Qur’an (ijtihad) dengan pemahaman yang bersifat kontektual.
Akar sejarah pemahaman
tekstualis, merupakan tradisi keilmuan islam yang sebenarnya berasal dari
penghayatan makna sebuah kitab suci yang merupakan petunjuk langsung dari Allah
swt. (wahyu) dan tidak ada hak akal untuk memberikan intervensi terhadap
petunjuk tersebut kecuali orang yang mendapat hak langsung dari Allah swt.
Yaitu Nabi Muhammad saw. Dan kelompok kebayakan ini, selanjutnya dikenal dengan
istilah ahlul hadits (kelompok
tekstualis) atau ahlul sunnah (kelompok
tradisional). Dan selanjutnya produk-produk penafsirannya dikenal dengan
istilah tafsir bil ma’tsur (karena
penafsirannya sepenuhnya berdasarkan hadist nabi). Dan di dalam tekstualitas
pemahaman pada perkembangan selanjutnya juga mengalami perbedaan-perbedaan.
Corak tekstualitas
pemahaman terhadap nas al-Qur’an juga beragam. Ada yang sangat tekstual seperti
madzhab dhohorly, dan orang-orang yang bermazdhab Ahli Sunnah Wal Jama’ah, dan
ada yang sangat akomodatifb terhadap pemahaman ra’yu seperti para pengikut
aliran Qadariyah atau mu’tazilah.
Tetapi pada umumnya
ulama’ salaf memiliki pemahaman lebih mendekati pemahamannya para ulama’ ahlul
hadist, walaupun tidak terlalu tekstualils (moderat). Misalnya teks perintah
potong tangan bagi pencuri yang tidak serta merta setiap pencuri dipotong tangannya,
kecuali setelah memenuhi kreteria pencurian, perajaman dan penjilidan bagi
pezina dll. Berbeda dengan cara memahami ulama’ salaf yang sunni tersebut, para
ulama’ khowarij cara memahami al-Qur’an sangat tekstual. Sehingga tidak
memberikan kesempatan pada akal untuk memberikan interprestasi lain kecuali
makna dhohir ayat. Bahkan orang yang memahami lain dari pemahamannya yang
bersifat tekstual dianggapnya telah keluar dari Islam (dar al-harb) harus diperangi.
D.
Pemahaman kontekstual
Corak pemahaman kontekstual
terhadap al-Qur’an walaupun bersifat kurang popular di kalangan masyarakat
Islam, tetapi sebenarnya juga telah ada semenjak masa sahabat, yang apa yang
dilakukan oleh antar lain sahabat Umar ibn Khaththab ra. Demikian juga oleh
ulama’ tabi’it tabi’in (generasi ke tiga) yang dipelopori oleh Abu Hanifah,
yang dikenal dengan istilah ahlur ra’yi (kelompok
rasional). Produk pemikiran (karya tafsir dari kalangan ini dikenal dengan
istilah tafsir birra’yi (karena
mendasarkan penafsirannya pada ra’yu).
Karena sebuah karya
tafsir adalah melibatkan keseluruhan dari disiplin ilmu-ilmu keislaman, baik
ilmu tauhid, fiqih maupun tasawuf, maka sudah barang tentu corak pemahaman
al-Qur’an tersebut juga terpengaruh oleh pemahaman terhadap ketiga keilmuan
tersebut. Dan corak pemahaman kontekstual terhadap al-Qur’an maupun
(rasionalis) atau kelompok mu’tazilah atau sebagaian kecil dari kaum ahli
sunnah wal jama’ah. Sedangkan di kalangan para panganut firqah jabariyyah atau
khawarij pemahaman tentang teks al-Qur’an relative tidak berkembang.
Akar sejarah pemahaman
kontekstual telah dipelopori oleh sahabat Umar ibn Khaththab, yang telah berani
berijtihad yang sama sekali menyalahi teks al-Qur’an kerena pemahaman
kontekstual. Demikian juga Imam Syafi’I yang pernah menghasilkan fatwa-fatwa
yang kontradiktif dengan fatwanya sendiri pada waktu yang lalu dengan istilah qaul qadim (fatwa lama) dengan qaul jadid (fatwa baru) sejak semula
hanya memgangi hadis Nabi yang benar-benar mutawatir
(popular keorsinilannya) dan pendapat akal yang ilmiyah.
Corak kontekstualitas
pemahaman teks al-Qur’an, juga berbeda-beda. Ada tokoh yang sangat kontekstual
sehingga hanya memegangi al-Qur’an dari spiritnya, misalnya para tokoh
pembaharu, seperti pembaharu, seperti al-Afghani, dengan tafsir al-Manarnya, Muhammad
Abduh, dan para muridnuya, serta para ulama’ modern. Akan tetapi ada juga yang
memahami al-Qur’an dan menafsirkannya secara kontektual, tetapi masih mendekati
mekna teks yang ada, seperti al-Zamakhsyari dengan al-Kasysyafnya, fahrur Rozi
dengan Mafatihul Ghaibnya dll.
Dasar pemikiran ulama’
modern tentang al-Qur’an adalah bahwa al-Qur’an merupakan ajaran qlobal
(semangat atau spirit), dan bukan semata-mata kitab perundang-undangan praktis.
Sedangkan praktek Nabi dan para sahabat di zamanya hanyalah merupakan contoh
yang bersifat kasuistik semata. Sehingga praktek al-Qur’an di setiap waktu atau
zaman tertentu sangat dimungkinkan, bahkan harus di sesuaikan dengan situasi
zaman dan tempat yang melingkupinya. Misalnya pemahaman tentang menutup aurat
wanita, pembagian waris dan bahkan semua teks yang menjelaskan masalah mu’amalah (hubungan sosial) haruslah
difahami demikian. Kecuali masalah-masalah yang bersifat (ta’abbudi) peribadatan murni, maka akal tidak perlu melakukan
intervensi pemahaman.
E.
Penutup
Kajian tentang
pemahaman al-Qur’an dengan berbagai macam ragam sudut pandangnya ini merupakan
upaya untuk memahami, bahwa ragam madzhab dan aliran dalam agama merupakan
keniscayaan kehidupan dan merupakan sesuatu yang justru akan melestarikan eksistensi
agama dalam kehidupan umat manusia. Sehingga akan melahirkan sikap keberagaman
yang dewasa dan modern dengan memegangi prinsip hidup “Think Universally and acting Locallu” (berwawasan universal dan
bertindak lokal). Berwawasan universal dalam arti memahami ragam produk
pemikiran dan cara piker orang lain, dan bertindak local dalam arti memiliki
prinsip hidup yang dipegangi secara konsisten dalam tindakan kesehariannya.
Comments[ 0 ]
Posting Komentar