Aktualisasi Tasawuf dalam Pendidikan Modern (Part II)


 2. Sejarah Perkembangannya
Sebagai disiplin sebuah ilmu, tasawuf muncul dari dimensi Ihsan yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam totalitas agama Islam. Ihsan yang menurut definisai Nabi adalah “ an ta’budallaha ka-annaka taraahu, fa illam takun taraahu fainnahu yaraaka” (jika kamu beribadah seolah-olah melihat-Nya, maka jika kamu tidak dapat melihat-Nya maka sesungguhnya Ia melihatmu) selanjutnya, berdasarkan diskripsi dan analisisnya, para ulama’ tabi’in memunculkan ilmu khas yang disebut ilmu tasawuf.

Pada zaman Nabi dan Sahabat, ilmu ini secara mandiri belum ada. Akan tetapi secara praktis ilmu ini telah diamalkan dan menjadi bagian dari sikap mental yang benar-benar terpatri dalam jiwa Nabi dan para sahabatnya. Mereka benar-benar sumber cahaya bagi eksisitensi ilmu tasawuf di kemudian hari.
Tasawuf adalah akhlak dan nafas kehidupan Nabi dan para sahabatnya. Mereka adalah sosok figur kaum sufi yang sejati.

Kezuhudan Nabi dan para sahabat adalah teladan yang sempurna bagi kaum sufi. Betapa mereka tidak meterealistik kalau kita baca sejarah kepribadian mereka yang dengan antusias mendermakan harta kekayaannya untuk perjuangan agama. Betapa miskinnya Nabi dan para Khalifahnya sebagai negara adikuasa. Kesabaran dan ketawakkalannya yang luar biasa sehingga perjuangan agamanya mengalami  kesaksesan  yang luar biasa. Tak pernah ada dan tidak akan ada sejarah kesaksesan suatu ajaran seperti perjuangan mereka. Dan seluruh akhlak mulia menghiasa pribadi Nabi dan para sahabat agung. Ilmu tasawuf tidak  dikatakan, tetapi diajarkan, dan  diamalkan.

Tasawuf hanya merupakan amaliyah yang tak terpisahkan dari kehidupan beragama, hanya berlangsung sampai dengan masa sahabat. Para tabi’in (generasi ulama’ yang mengalami (bertemu dengan sahabat Nabi) tetapi tidak bertemu / mengalami masa hidup Nabi) sudah tidak mengalami masa integritas ilmu dan ajaran Islam. Tetapi mereka justru mengalami masa  kejayaan Islam, masa di mana kaum muslimin secara politik telah menjadi adikuasa dunia. Masa di mana kaum muslimin secara ekonomi menjadi bangsa yang super kaya. Masa di mana secara militer kaum muslimin menjadi bangsa super power.

Dalam keadaan duniawi yang sangat gilang gemilang, justru integritas ajaran Islam mulai mengalami zaman disintegrasi dan kemunduran. Banyak kaum muslimin, khususnya para pejabat sudah kehilangan spirit Islam. Mereka terpesona dengan dunia yang serba gemerlap. Banyak pejabat yang borjuis, banyak penguasa yang dholim, banyak ulama; yang materialis. Dan juga ritus-ritus peribadatan mulai ditinggalkan. Masjid-masjid semakin lengang di tengah malam, sudah sepi dari orang-orang yang menunaikan sholat tahajjud seperti pada zaman nabi dan sahabat.

Dari realitas kehidupan yang semakin hidonistik dan meterialistik itulah, maka para ulama’ yang masih belum terkontaminasi oleh maraknya kehidupan dunia, merindukan kehidupan rilgius seperti yang terjadi pada masa sahabat-sahabat besar nabi. Maka mereka I’tizal  (menghindar) dari kehidupan hidunistik ke masjid-masjid. Gerakan ini menjadi populer atas ketokohan Hasan al-Bashri (W.110 H). di Basrah. Jargon gerakan tasawuf ini adalah “kembali kepada kehidupan zuhud”.

Halaqah-halaqah (lingkaran studi) dan gerakan amaliyah semakin hari semakin berkembang seimbang dengan perkembangan peradaban Islam. Sampai akhirnya  tasawuf sebagai ilmu yang mandiri dan gerakan tasawuf yang ekstrimpun berkembang dengan pesatnya pada masa ini.
Tasawuf pada masa keemasan Islam juga turut mengalami masa jaya, sufi-sufi  besar  muncul pada masa ini , seperti Abu Yazid al-Bustami, Abu Manshur al-Hallaj, al-Kusyairi, Ibu Arabi dll. Kemunculan sufi-sufi besar tersebut ditandai dengan karya-karya besar mereka.

Gerakan tasawuf muncul sebagai antitesa dan balancing (penyeimbang), trend masyarakat yang sedang berkembang. Tasawuf pada masa kejayaan Islam, merupakan balancing dari trend masyarakat yang hidonistik dan materialistik. Sedangkan pada masa kemunduran Islam gerakan tasawuf lebih berperan sebagai balancing atas integritas persaudaraan dan politik umat Islam yang telah porak poranda, khususnya setelah kehancuran kota Baghdad (1258 M) sebagai pusat pemerintahan dan peradaban Islam. Oleh karena itu antitesa yang diberikan oleh para sufi adalah memasyarakatkan ajaran tasawuf pada masyarakat awam dalam bentuk tarekat-tarekat. Para sufi besar menghimpun masyarakat Islam awam dalam suatu majlis dan persaudaran sufi massal. Karena umat Islam menghadapi hegemoni dunia barat dengan tanpa integritas politik yang memadahi. Sehingga umat Islam sangat rawan keselamatan akidah keagamaannya. Umat Islam membutuhkan patronasi, dan kedamaian persaudaraan suci.  Dan inilah bentuk terakhir gerakan tasawuf sampai dewasa ini.


 3. Urgensi Ilmu Tasawuf
Sebagai dimensi isoterik dalam islam,tasawuf memiliki posisi yang sangat sentral dan strategis. Karena ibarat sebutir buah kelapa tasawuf adalah daging isinya, sedangkan syari’at (eksoterik) adalah cangkang dan kulitnya. Oleh karena itu ilmu tasawuf juga sangat penting dalam kajian ilmu keislaman. Karena dengan ilmu ini seorang muslim dapat mensucikan hatinya sehingga dapat menjalankan ajaran agamanya dengan penuh penghayatan.  Sekaligus akan dapat menghadapai kehidupan dengan penuh ketentraman hati dan kebermaknaan hidup.

Menurut para ulama’ salaf, mengkaji ilmu ini hukumnya fardlu ain (kwajiban indidividual) setiap muslim. Karena ilmu ini membahas tatacara berakhlak kepada Allah, dan tatacara mensucikan hati. Dan berakhlak dengan Allah yang baik, dan sucinya hati sehingga dapat ikhlas dalam beribadah merupakan rukun (syarat mutlak) atas diterima dan tidaknya peribadatan seseorang. Sebagaimana juga kwajiban atas belajar fiqih dan tauhid, sebagai ilmu yang dapat membenarkan dalam tatacara beribadah dan meluruskan aqidah. (Bersambung Part III)

Read more…

Aktualisasi Tasawuf dalam Pendidikan Modern (Part 1)


1. Pengertian Tasawuf
Tasawuf sebagai ilmu dalam Islam, kelahirannya bersamaan dengan ilmu-ilmu keislaman yang lain , yakni sekitar abad ke 2-3 Hijrah. Artinya sebagai ilmu yang mandiri tasawuf juga belum ada pada zaman Nabi dan Sahabat. Karena semua ilmu agama pada kedua kurun tersebut masih inhern  (satu bagian yang tak terpisahkan) dalam prilaku dan sikap mental  Nabi dan para pengikutnya. Sehingga tasawuf sebagai ilmu dan ilmu-ilmu lain yang mandiri pada saat itu juga belum dikenal.

Para ulama’ berspekulasi tentang terminologi tasawuf, karena perbedaan spikulasi tentang asal kata tasawuf itu sendiri. Ada yang berpendapat bahwa tasawuf berasal kata dari Shuffah (pelana kuda), karena dinisbatkan kepada Ahlus shuffah, yakni para sahabat nabi yang mempergunakan seluruh hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah. Mereka  tinggal di samping masjid nabi dan berbantalkan pelana kuda (Shuffah). Ada juga yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari kata Shuf  (woll kasar). Karena dinisbatkan kepada para wali  dan orang-orang yang dengan sengaja  berpola hidup sangat sederhana dengan berpakaian kulit binatang (woll kasar) sebagai simbul kesederhanaan hidup. Dan Tokoh yang pertama kali digelari dengan kata al-Shufi  adalah Abu Hasyim al-Kufi al-Shufi (267 H). seorang ahli tasawuf yang sangat sederhana dengan selalu memakai baju dari woll kasar (shuf).

Sedangkan pengertian secara istilah tasawuf sebagai ilmu adalah sutau pengetahuan yang membahas tentang seluk-beluk hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Juga ada yang mendefinisikan, bahwa ilmu tasawuf adalah ilmu yang membahas tentang hal-ihwal jiwa, baik yang menyangkut sifat-sifat, penyakit-penyakitnya dan cara pembersihannya dalam rangka  suluk  “berjalan menuju Allah”.  Berikut ini adalah sekilas tentang sejarah perkembangannya.(Bersambung...)
Read more…

SHOLAWAT ULUL ALBAB