Tektual dan kontektual Dalam penafsiran al-qur’an


Tektual dan kontektual
Dalam penafsiran  al-qur’an
Oleh : kharisudin aqib
A.    Muqaddimah
Al-qur’an adalah kalamullah (firman Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril. Sebagai petunjuk bagi umat manusia untuk kebahagiaannya di dunia maupun di akhirat. Sebagai petunjuk kehidupan yang diturunkan kepada nabi terakir, maka sudah barang tentu sesuai untuk kehidupan manusia di zaman terakir dan di setiap tempat di wilayah kehidupan manusia ini.
Persoalan hidup umat islam, maupun persoalan memahami sumber ajaran (al-qur’an) yang di hadapi umat islam pada masa hidupnya Rasulullah SAW. Dapat ditanyakan langsung kepada Rasulullah. Karena Rasulullah adalah orang yang paling otoritatif dalam penafsiran al-qur’an dan penjelasan terhadap maksud al-Syari’(Allah). Dan dalam kasus-kasus tertentu Rasulullah juga menunggu jawaban langsung dari Allah, karena memang masa itu adalah masa berlangsungnya turunnya wahyu dan penetapan syari’at. Dan memang proses pensyari’atan adalah dengan model tadrij(bertahap), dan begitu juga turunnya al-qur’an juga berangsur-angsur (manajjaman) sesuai sosiokultural dan bersifat kasuistik
Para ulama’ sepakat bahwa al-qur’an sebagai sumber utama dan pertama ajaran islam yang bersifat qath’iyyul wurud (pasti keberadaannya), karena memang al-qur’an telah diriwayatkan secara mutawatir (diriwayatkan oleh sejumlah orang yang tidak mungkin membuat kesepakatan dusta). Selain diriwayatkan oleh public dan juga didukung oleh hafalan serta dokumentasi penulisan yang sangat akurat. Namun demikian, dalam hal dalalah (petunjuk yang terkandung dalam lafadh al-Qur’an), sejak semula (setelah meninggalnya Rasulullah) telah terjadi perbedaan pendapat di antara para sahabat Nabi, karena memang sifat dan karakteristik teks al-Qur’an yang bersifat intrepatif.
Makalah ini merupakan bahan diskusi kajian keislaman dengan teman sentral;” Membangun Maradigma Keislaman Plural-Transendental “ dalam Lingkaran Studi Ikatan Sarjana Nadlatul ‘Ulama’ Cabang Nganjuk.
B.     Ragam Pola Pemahaman Kandungan Al-Qur’an
Berdasarkan polanya, pemahaman kandungan al-Qur’an dapat dibedakan dalam tiga pola. Yaitu tiga produk pemahaman berikut; tafsir, ta’wil dan terjemah. Tafsir adalah sebuah produk pemahaman terhadap al-Qur’an yang lebih menikberatkan pada makna-makna lafadz dan kata-kata, dan lebih mengedepankan dasar periwayatan sedangkan ta’wil lebih menikberatkan pada makna global dari suatu kalimat, serta lebih mengedepankan pemahaman (dirawiyah).  Sedangkan  tarjamah adalah pemindahan makna lafadz al-Qur’an ke dalam bahasa lain dengan tetap mengikuti tertib penulisan mushhaf al-Qur’an.
Adapun jika dilihat dari sumber pengambilannya, pemahaman al-qur’an dapat diklasifikasikan dalam dua kategori, yakni; tafsir bil ma’tsur , tafsir izdiwaji dan tafsir birra’yi. Tafsir bil ma’tsur adalah model penafsiran (karya tafsir) yang hanya mendasarkan penafsirannya kepada ayat-ayat, atau hadis-hadis atau penafsiran para sahabat. Sedangkan tafsir birra’yi adalah penafsiran dengan mengandalkan pendapat atau hasil analisisnya seorang mufassir berdasarkan keilmuan yang ia miliki. Adapun tafsir Izdiwaji adalah sebuah produk penafsiran yang di samping mendasarkan penafsirannya pada riwayat juga mendasarkan pada dirayah (penalaran).
Jika dilihat dari segi method pembahasannya dapat pembahasannya dapat diklasifikasikan dalam 4 model, yaitu; tafsir tahlili, tafsir maudlu’I, tafsir ijmali. Tafsir Tahlily adalah sebuah karya tafsir yang mempergunakan method analisis komperhensip (menyeluruh). Sedangkan maudlu’I adalah karya tafsir dengan method tematik (hanya membahas tema tertentu). Sedangkan tafsir muqarin adalah karya tafsir komparatif (membandingkan penafsiran para mufassir lain). Adapun tafsir ijmali adalah karya tafsir dengan method penafsiran global dalam kelimat atau ayat-ayat tertentu.
Dan jika dilihat dari segi corak keilmuan yang terkandung di dalamnya, dikenal istilah tafsir ilmi, tafsir adabi, tafsir sufi / isyari, tafsir ijtima’I , Tafsir ilmi adalah corak penafsiran yang sarat dengan nuansa keilmuan. Sedangkan tafsir adabi adalah corak sebuah karya tafsir yang lebih kental dengan kajian kesusastraan. Adapun tafsir sufi/isyari adalah sebuah karya tafsir mistis. Adapun tafsir ijtima’I adalah karya tafsir yang lebih mendominankan pada kajian kemasyarakatan.
Macam-macam ragam karya tafsir yang dikenal dewasa ini, bahkan sejak masa klasik lebih dapat menjadikan bukti bahwa al-Qur’an bersifat sangan interpretatif. Dan kebenarannya masing-masing karya tafsir memiliki kebenarannya sendiri-sendiri, sesuai dengan sudut pandan dan methode analisa yang mereka pergunakan. Pamilik yang berhak menjustifikasi atau mengklaim atas kemutlakan penafsirannya.
C.    Pemahaman Tekstual
Pemahaman tekstual adalah model pemahaman yang paling klasik. Hal ini dapat kita ketahui dari tradisi kebanyakan sahabat Nabi yang dengan ketawadlu’-an (kerendahan hati) karena penganggungannya kepada kepada kitab suci, tidak berani memahami al-Qur’an kecuali sesuai dengan makna yang leterek (tekstual) dan berdasarkan pemahaman Rasulullah saw. Hal ini juga dikarenakan adanya ancaman Nabi terhadap Khaththab ra. Yang telah pernah berani memahami al-Qur’an (ijtihad) dengan pemahaman yang bersifat kontektual.
Akar sejarah pemahaman tekstualis, merupakan tradisi keilmuan islam yang sebenarnya berasal dari penghayatan makna sebuah kitab suci yang merupakan petunjuk langsung dari Allah swt. (wahyu) dan tidak ada hak akal untuk memberikan intervensi terhadap petunjuk tersebut kecuali orang yang mendapat hak langsung dari Allah swt. Yaitu Nabi Muhammad saw. Dan kelompok kebayakan ini, selanjutnya dikenal dengan istilah ahlul hadits (kelompok tekstualis) atau ahlul sunnah (kelompok tradisional). Dan selanjutnya produk-produk penafsirannya dikenal dengan istilah tafsir bil ma’tsur (karena penafsirannya sepenuhnya berdasarkan hadist nabi). Dan di dalam tekstualitas pemahaman pada perkembangan selanjutnya juga mengalami perbedaan-perbedaan.
Corak tekstualitas pemahaman terhadap nas al-Qur’an juga beragam. Ada yang sangat tekstual seperti madzhab dhohorly, dan orang-orang yang bermazdhab Ahli Sunnah Wal Jama’ah, dan ada yang sangat akomodatifb terhadap pemahaman ra’yu seperti para pengikut aliran Qadariyah atau mu’tazilah.
Tetapi pada umumnya ulama’ salaf memiliki pemahaman lebih mendekati pemahamannya para ulama’ ahlul hadist, walaupun tidak terlalu tekstualils (moderat). Misalnya teks perintah potong tangan bagi pencuri yang tidak serta merta setiap pencuri dipotong tangannya, kecuali setelah memenuhi kreteria pencurian, perajaman dan penjilidan bagi pezina dll. Berbeda dengan cara memahami ulama’ salaf yang sunni tersebut, para ulama’ khowarij cara memahami al-Qur’an sangat tekstual. Sehingga tidak memberikan kesempatan pada akal untuk memberikan interprestasi lain kecuali makna dhohir ayat. Bahkan orang yang memahami lain dari pemahamannya yang bersifat tekstual dianggapnya telah keluar dari Islam (dar al-harb) harus diperangi.
D.    Pemahaman kontekstual
Corak pemahaman kontekstual terhadap al-Qur’an walaupun bersifat kurang popular di kalangan masyarakat Islam, tetapi sebenarnya juga telah ada semenjak masa sahabat, yang apa yang dilakukan oleh antar lain sahabat Umar ibn Khaththab ra. Demikian juga oleh ulama’ tabi’it tabi’in (generasi ke tiga) yang dipelopori oleh Abu Hanifah, yang dikenal dengan istilah ahlur ra’yi (kelompok rasional). Produk pemikiran (karya tafsir dari kalangan ini dikenal dengan istilah tafsir birra’yi (karena mendasarkan penafsirannya pada ra’yu).
Karena sebuah karya tafsir adalah melibatkan keseluruhan dari disiplin ilmu-ilmu keislaman, baik ilmu tauhid, fiqih maupun tasawuf, maka sudah barang tentu corak pemahaman al-Qur’an tersebut juga terpengaruh oleh pemahaman terhadap ketiga keilmuan tersebut. Dan corak pemahaman kontekstual terhadap al-Qur’an maupun (rasionalis) atau kelompok mu’tazilah atau sebagaian kecil dari kaum ahli sunnah wal jama’ah. Sedangkan di kalangan para panganut firqah jabariyyah atau khawarij pemahaman tentang teks al-Qur’an relative tidak berkembang.
Akar sejarah pemahaman kontekstual telah dipelopori oleh sahabat Umar ibn Khaththab, yang telah berani berijtihad yang sama sekali menyalahi teks al-Qur’an kerena pemahaman kontekstual. Demikian juga Imam Syafi’I yang pernah menghasilkan fatwa-fatwa yang kontradiktif dengan fatwanya sendiri pada waktu yang lalu dengan istilah qaul qadim (fatwa lama) dengan qaul jadid (fatwa baru) sejak semula hanya memgangi hadis Nabi yang benar-benar mutawatir (popular keorsinilannya) dan pendapat akal yang ilmiyah.
Corak kontekstualitas pemahaman teks al-Qur’an, juga berbeda-beda. Ada tokoh yang sangat kontekstual sehingga hanya memegangi al-Qur’an dari spiritnya, misalnya para tokoh pembaharu, seperti pembaharu, seperti al-Afghani, dengan tafsir al-Manarnya, Muhammad Abduh, dan para muridnuya, serta para ulama’ modern. Akan tetapi ada juga yang memahami al-Qur’an dan menafsirkannya secara kontektual, tetapi masih mendekati mekna teks yang ada, seperti al-Zamakhsyari dengan al-Kasysyafnya, fahrur Rozi dengan Mafatihul Ghaibnya dll.
Dasar pemikiran ulama’ modern tentang al-Qur’an adalah bahwa al-Qur’an merupakan ajaran qlobal (semangat atau spirit), dan bukan semata-mata kitab perundang-undangan praktis. Sedangkan praktek Nabi dan para sahabat di zamanya hanyalah merupakan contoh yang bersifat kasuistik semata. Sehingga praktek al-Qur’an di setiap waktu atau zaman tertentu sangat dimungkinkan, bahkan harus di sesuaikan dengan situasi zaman dan tempat yang melingkupinya. Misalnya pemahaman tentang menutup aurat wanita, pembagian waris dan bahkan semua teks yang menjelaskan masalah mu’amalah (hubungan sosial) haruslah difahami demikian. Kecuali masalah-masalah yang bersifat (ta’abbudi) peribadatan murni, maka akal tidak perlu melakukan intervensi pemahaman.
E.     Penutup
Kajian tentang pemahaman al-Qur’an dengan berbagai macam ragam sudut pandangnya ini merupakan upaya untuk memahami, bahwa ragam madzhab dan aliran dalam agama merupakan keniscayaan kehidupan dan merupakan sesuatu yang justru akan melestarikan eksistensi agama dalam kehidupan umat manusia. Sehingga akan melahirkan sikap keberagaman yang dewasa dan modern dengan memegangi prinsip hidup “Think Universally and acting Locallu” (berwawasan universal dan bertindak lokal). Berwawasan universal dalam arti memahami ragam produk pemikiran dan cara piker orang lain, dan bertindak local dalam arti memiliki prinsip hidup yang dipegangi secara konsisten dalam tindakan kesehariannya.

Read more…

Ragam Pemahaman Dalam Hadis Nabi


Ragam Pemahaman Dalam Hadis Nabi
Oleh; Kharisudin Aqib
A.    Muhaddimah
Periwayatan tentang hal-ihwal Nabi Muhammad saw yang meliputi perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat beliau, adalah sesuatu urgen (penting) dalam kajian keislaman. Mengingat bahwa praktek kehidupan Nabi merupakan informasi yang dibawa dan disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. Dengan demikian, maka kepercayaan kepada Nabi dan berita tentang Nabi merupakan pondasi kepercayaan kepada seluruh ajaran Islam termasuk di dalamnya tentang kebenaran kitab Suci al-Qur’an.
Pada masa Nabi Muhammad saw masih hidup, tidak ada sumber hokum lain kecuali al-Qur’an (firman Allah) dan Sunnah Nabi. Firman Allah yang bersifar global dan sunnah Nabi yang bersifat rinci. Dan secara umum posisi al-Sunnah di hadapan al-Qur’an ada tiga bentuk; yakni pertama, sunnah keseteraan yang bersifat menguatkan apa yang terkandung di dalam al-Qur’an, seperti hadis-hadis perintah sholat, zakat, dan keharaman riba dll. Ke dua sunnah sebagai penjelas dan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat global, maka al-sunnah menjelaskan apa yang dimaksud oleh ayat, seperti penjelasan tatacara sholat, jumlah raka’atnya, waktunya, penjelasan syarat cabang –cabang ahli waris dll. Dan ketiga sunnah yang menjelaskan sesuatu yang tidak ada sama sekali di dalam al-Qur’an. Seperti pengharam setiap binatang buas yang bertaring, bolehnya khiyar syarat, tidak ada qisas bagi seorang muslim untuk orang kafir dll.
Walaupun urgensi periwayatan tentang Nabi (al-hadis) merupakan sesuatu yang sangat penting dalam tegaknya keyakinan beragama (Islam), tetapi kekokohan eksistensi al-hadis tidak sekokoh dengan eksistensi al-Qur’an. Hal ini dikarenakan perhatian Nabi terhadap al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam yang paling utama. Sehingga Nabi memerintahkan kepada para sahabat (khususnya para penulis wahyu) untuk menulis ayat-ayat al-Qur’an dengan segera dan dengan penuh kecermatan, sementara Nabi juga melarang sahabat menulis tentang Nabi (atau informasi dari Nabi) selain al-Qur’an. Hal ini berlangsung proses penulisan al-Qur’an hampir selasai.
 Informasi tentang Nabi dan sesuatu yang berasal dari Nabi selain al-Qur’an (al-hadis) dilarang oleh Nabi untuk ditulis , khususnya di tengah-tengah kesibukan para sahabat untuk menulis, mempelajari dan menghafalkan al-Qur’an. Sehingga praktis dokumentasi verbal tentang al-hadis tidak berjalan sebagaimana dokumentasi tentang al-Qur’an yang berjalan dan diriwayatkan secara massal (mutawattir). Dan yang terjadi dalam periwayatan al-hadis adalah periwayatan oral atau dari mulut ke mulut (syafawiyyan). Sehingga dari segi banyaknya periwayatan ada dikenal istilah hadis mutawatir (massal) dan hadis ahad (perorangan).
Kajian ini ada dalam sub bagian ulum al-hadis (ilmu-ilmu hadis) yang membahas tentang ragam penafsiran dan pemahaman atas hadis nabi dan system transmisi hadis (al-tahmmul wal ada’) sehinnga hadis nabi dapat disampaikan kepada kita.
B.     Sejarah Kodifikasi Hadis
Sejak periode awal, kaum muslimin memiliki perhatian besar terhadap dokumentasi tentang sabda-sabda Nabi yang sangat berbobot, baik penulisan, penghafalan, transfer dan penyebaran. Secara perorangan penulisan dan pengumpulan hadis Nabi telah terjadi sejak masa Nabi, dan bahkan naskah yang ditulis oleh sahabat Abdullah ibn Umar dan Jabir, adalah naskah yang diakui sebagai data paling masyhur dan otentik tentang penulisan hadis pada masa Nabi. Walaupun persoalan penulisan hadis pada masa nabi menjadi polemic, tetapi kebanyakan para ulama’ dapat menyimpulkan, bahwa larangan penulisan hadis itu hanya terjadi di awal-awal masa kerasulan (penulisan wahyu). Sedangkan di akhir masa kerasulan, penulisan hadis ini tidak dilarang lagi.
Namun demikian, penulisan hadis yang ada sampai kurun akhir abad I hijriyah adalah penulisan secara perorangan. Baru setelah dilakukan pengkodifikasian (pembukuan hadis) secara resmi atas perintah Khalifah Umar ibn Abdul Aziz maka kitab-kitab hadis mengalami penyebaran yang lebih sistimatis. Kebijakasanaan ini adalah upaya yang sungguh-sungguh dalam ranagka menjaga kemurnian hadis nabi dan terjadinya penyebaran hadis yang lebih proposional. Sehingga banyak muallif  (penyusunan kitab) hadis mulai bermunculan dengan sisitimatika penulisan dan standarisasi keabsahan hadis masing-masing, silsilah geneologikal keilmuan yang beragam. Dan bahkan mulai bermunculan ilmu-ilmu tentang hadis. Seperti musthalahul hadis, jarh watta’dil, dll.

Hadis nabi sebagai sumber ajaran dan hokum Islam pernah mengalami masa yang carut-marut. Yaitu suatu masa yang penuh dengan intrik politik, sehingga banyak pihak yang memanipulir hadis nabi sebagai untuk kepentingan kelompok politik dan golongannya masing-masing. Maka akhirnya banyaklah tersebar “hadis-hadis nabi” yang kurang jelas kebenarannya, dan bahkan hadis-hadis palsu. Mereka melakukan pemalsuan hadis dalam rangaka mencari justifikasi dalam rangka membenarkan kelompoknya (firqah, mazdhab, thoriqah ataupun kelompok politik/ hizb). Untuk kepentingan menjaga kemurnian hadis tersebut, maka pemerintah Daulah Bani Umayyah (Umar ibn Abdul Aziz Khalifah al-Rosyid ke lima) memerintahkan untuk mengadakan kodifikasi hadis secara resmi. Bahkan hal ini sebenarnya telah dilakukan oleh ayah Khalifah Umar, yaitu Abdul Aziz ibn Marwan, Gubernur Mesir (w.85 H).
C.    Otoritas Hadis Sumber Hokum
Otoritas hadis nabi sebagai sumber hokum Islam adalah keyakinan fundamental dan dipegangi oleh umat Islam pada umumnya. Dan hanya sebagaian kecil dari umat yang menyatakan beragama Islam, tetapi tidak mengikuti al-hadis sebagai sumber hokum dan ajaran Islam yang dikenal dengan sebutan (inkarussunnah). Karena pada dasarnya ketaatan pada Rasulullah yang direpresentasikan pada pengakuan atas otoritas al-hadis, juga merupakan manifestasi pada ketaatan kepada Allah. Sebagaimana dinyatakan dalam beberapa ayat suci al-Qu’an.
Adapun yang menjadi sebab utama perbedaan faham atas otoritas al-hadis adalah masalah yang menyangkut akurasi dari al-hadis itu sendiri. Apakah al-hadis itu benar-benar informasi dari nabi dan apa yang ada dan terjadi pada diri nabi. Dengan kata lain, masalah ke-qath’an atas wurud (teks hadis). Jadi selama hadis tersebut benar-benar dari nabi, maka seluruh kelompok / golongan dalam Islam, sepakat mengakui otoritas al-hadis sebagai sumber dan dasar hokum Islam yang ke dua setelah al-Qur’an. Dan atas logika pemahaman tersebut, dan tealitas keberadaan al-hadis yang tidak seluruhnya mutawattir, maka apa yang menjadi ketetapan al-hadis juga bernilai skunder dan tidak dapat bertentangan dengan ketetapan al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam.
D.    Ragam Pemahaman Hadis
Hadis nabi sebagai sumber hokum dan rujukan agama kedua setelah al-Qur’an difahami secara beragama oleh kaum muslimin sebagai mana juga ragam pemahaman dalam kitabullah. Ragam pemahaman tersebut umumnya berlatar belakang teologis atau dilakukan oleh para tokoh di kalangan para penganut aliran teologi atau dilakukan oleh para tokoh di kalangan para penganut aliran teologi dalam Islam (‘ulama’ mutakallimun). Dan ragam pemahaman tersebut pada akhirnya berimbas kepada hamper seluruh komunitas Islam tanpa memandang aliran (firqah), faham (madzab), maupun method (thariqah) dalam Islam.
 Di antara kaum muslimin ada yang memegangi hadis sebagai sumber ajaran Islam secara ketat, moderat dan liberal dan bahkan ada juga yang mengingkarinya. Kelompok yang ketat menyakini hadis nabi sebagai satu kesatuan dengan al-Qur’an yang bersifat qath’I (pasti). Dan sekaligus merupakan solusi satu-satunya dalam menyelesaikan problema kehidupan manusia, dimanapun dan kapanpun. Dengan pemahaman yang bersifat tekstual. Mereka itulah golongan ahlul hadis. Di antara ahlul hadis yang ekstrim adalah para mutakllim jabariy, para fuqaha’ madzab dhohiry, dan para puritanis.
Sedangkan golongan yang moderat adalah golongan ahli sunnah, yakni mayoritas umat Islam yang secara politis mangakui keabsahan keempat khalifah rasul. Mereka memiliki keyakinan bahwa hadis nabi adalah sebagai sumber ajaran islam yang utama setelah al-Qur’an jika diketahui orsinalitas hadis nabi sebagai benar-benar dari nabi dengan derajat keotentikan Shahih, walaupun tidak sampai mencapai derajat mutawattir (priwayatan missal). Sedangkan hadis yang ternyata menurut penelitian para ahli kurang kuat keotentikannya, tidak dapat dijadikan sebagai hujjah (dasar hukum) tetapi dapat dijadikan sebagai acuan motifasi amal shalih (fadla-ilul a’mal). Golongan ini adalah golongan yang berusaha memadukan logika kaum ahlul hadis dengan logika kaum ahlul ra’yi.
Sedangkan golongan yang memahi hadis nabi dengan liberal (sangat bebas) adalah golongan qadariyah atau firqah mu’tazilah. Mereka memahami hadis nabi sebagai sumber ajaran Islam yang ke dua setelah al-Qur’an, tetapi dengan catatan keabsahan tentang orsinalitas hadis mencapai derajat mutawattir dan dengan pemahaman yang diselaraskan dengan rasio serta menggunakan pendekatan kontektual. Pemahaman semacam ini dilandasi dasar pemikiran, bahwa posisi akal sebagai organ rohaniyah manusia yang dapat mengetahui kebenaran dan memiliki kedudukan yang seimbang bahkan lebih tinggi dari pada wahyu.
Di antara sebab munculnya pemahaman yang beragam atas hadis nabi adalah karena sifat internal dari hadis nabi (ucapan-ucapan dan tindakan nabi) juga bersifat interpretatif sebagaimana sifat al-Qur’an. Hal ini disebabkan oleh karena nabi banyak mempergunakan ungkapan yang bersifat Jawami’ al-kalim (ungkspsn yang singkat tetapi padat makna),banyak juga beliau mempergunakan bahasa tamtsil (permisalan), simbolik, dan anologi.
 Contoh-contoh ungkapan nabi yang dapat difahami dengan pemahaman yang beragam;
1.                                                                                 كل مسكرخمروكل مسكر حرام (رواه البخاري و مسلم)
Artinya; “Setiap yang memabukkan adalah khamar dan setiap yang memabukkan adalah haram” HR. Bukhari-Muslim dll.
Secara tektual hadis tersebut menunjukkan keharaman khamar tanpa terikat oleh waktu dan tempat. Tetapi secara kontektual (praktek pengharaman khamar) yang berlaku pada masa nabi dan sesuai dengan proses pangharam khamar dalam al-Qur’an ada dispensasi sesuai dengan kepentingan dakwah.
2.                                                                                  الدنيا سجن المؤمن وجنه الكا قر(رواه مسلم و تر مذي)
Artinya; “Dunia itu penjara bagi orang yang beriman dan surga bagi orang kafir” HR. Muslim-Tirmidzi.
Hadis ini dapat manimbulkan berbagai implikasi pemahaman terhadap kaum muslimin dalam rangka menghadapi urusan dunia.
3.         ينزل ربنا تبا رك وتعا لى وتعا لى كل ليلة الي السماء الد نيا حين يبقى ثلث اليل الاخر قيقول : من يدعونى فا ستجيب له و من يسا لنى فا عطيه ومنيستغفرني فا غفر له (متفق عليه)                                                        
Artinya; “Tuhan kita (Allah) tabaraka wa ta’ala setiap malam turun ke langit dunia pada saat malam sepertiga terakir, (Allah) berfirman; barang siapa berdo’a kepada-Ku niscaya Aku kabulkan, barang siapa yang meminta maka Aku akan memberinya, dan barang siapa yang meminta pengampunan maka Aku ampuni dia”.  HR. Bukhari-Muslim.
Ulama’ yang memahami hadis tersebut secara tektual kebanyakan menyatakan bahwa matan (redaksi teks hadis) tersebut adalah lemah (dho’if) atau bahkan palsu, karena bertentangan dengan keyakinan Islam dengan menggambarkan Allah sebagai naik-turun ke langit dunia. Itu berarti menyamakan Allah dengan makhluk. Padahal redaksi teks tersebut berkualitas shahih manakala difahami secara kontektual. Karena matan hadis yang menyebutkan bahwa Allah turun ke langit dunia tersebut adalah limpahan rahmat-Nya. Yakni di suatu waktu yang paling memungkinkan orang bermunajat secara khusu’.
4.                                              المؤمن يا كل في معى واحدوالكا فر ياكل فى سبعة امعاء (رواه البخاري والبرميذي)
Artinya; “orang yang beriman itu makan dengan satu Usus, sedangkan orang kafir itu makan dengan tujuh Usus”. HR. Bukhari-Tirmidzi.
Secara tektual, hadis tersebut menerangkan bahwa ususnya orang yang beriman dengan orang kafir berbeda. Padahal dalam kenyataannya, anatomi manusia yang berupa usus tidak ada perbedaan antara orang yang beriman dengan yang kafir. Dengan demikian pemahaman tentang redaksi hadis tersebut haruslah difahami secara kontektual.
Perbedaan usus orang yang beriman dengan orang kafir adalah menunjukkan tentang pandangan hidup seseorang tentang nikmat Allah termasuk di dalamnya tentang makan. Bahwa orang beriman memiliki prinsip bahwa makan adalah sekedar untuk hidup, sedangkan orang kafir adalah sebaliknya. Yakni hidup untukk makan. Sehingga orang yang tidak beriman itu banyak menuntut dalam hal kelezatan makan.
Di samping perbedaan pemahaman hadis dari segi matan (redaksi) perbedaan pemahaman juga muncul dari sisi sanad (silsilah para periwayatan hadis). Dari sisi yang kedua ini memunculkan perbedaan pendapat apakah hadis ini dipandang benar-benar abash sebagai informasi akurat dari nabi. Apakah periwayatan tersebut merupakan orang-orang yang terpercaya (tsiqqah) sebagai pembawa berita dari nabi. Apakah rantai-rantai nama periwayatan itu benar-benar pernah saling bertemu dll. Sehinnga para peneliti hadis mungkin banyak yang berbeda pendapat tentang kwalitas sanad sebuah hadis sehingga memberikan penilaian tentang keabsahannya juga berbeda antara seorang peneliti dengan yang lain. Yang berakibat pada pengakuan terhadap otoritas sebuah hadis sebagai sumber dan dasar hukum Islam.
E.     Penutup
Demikian sekilas tentang al-hadis yang merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an. Dan sebagai sumber ajaran yang bersifat universal al-hadis bersifat interpretatife. Dengan demikian, maka beragam pemahaman terhadap teks al-hadis juga merupakan suatu keniscayaan yang justru akan berdampak pada kemaslahatan yang lebih abadi. Dan oleh karena itu tidak perlu dijadikan sebagai sarana untuk perpecahan umat. Tetapi justru dijadikan sebagai sarana untuk mengakomodir segala macam bentuk perubahan dan kemajuan zaman.(metafisika)
 
Read more…

Ragam Penafsiran Dalam Al-Qur’an


Ragam Penafsiran Dalam Al-Qur’an
Oleh : Kharisudin Aqib
A.    Muqaddimah
Ulumul Qur’an yang merupakan bagian terpenting dalam Dirasah Islamiyah (kajian keislaman), adalah ilmu-ilmu yang membahas had-ihwa al-Qur’an sebagai kalamullah (firman Allah) yang menjadi dasar utama dan pertama ajaran islam, untuk diketahui dan difahami kandungannya. Suatu cakupan pengetahuan yang meliputi ; Tarikh Nuzu (sejarah turunnya al-Qur’an), tarikh kitabah wa tadwin (sejara penulisan dan kondifikasi al-Qur’an), ilmul qira’at (ilmu bacaan al-qur’an), asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya al-Qur’an) aqsamul qur’an (sumpah-sumpah dalam al-Qur’an), Makky Wal Madaniy, Nasikh Mansukh, Munasabatul Qur’an dan lain-lain.
Al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat jibril, sebagai petunjuk dan rahmat bagi umat manusia untuk kebahagiaannya di dunia maupun di akhirat. Sebagai petunjuk kehidupan yang diturunkan kepada nabi terakir, maka sudah barang tentu sesuai untuk kehidupan yang manusia di zaman terakir dan disetiap tempat di wilayah kehidupan manusia ini.
Persoalan hidup umat islam, maupun persoalan memahami sumber ajaran (al-Qur’an) yang dihadapi umat islam pada masa hidupnya Rasulullah saw. Dapat ditanyakan langsung kepada Rasulullah. Karena Rasulullah adalah orang yang paling otoritarif dalam penafsiran al-Qur’an dan penjelas terhadap maksud al-syari’ (Allah). Dan dalam kasus-kasus tertentu Rasulullah juga menunggu jawaban langsung dari Allah, karena memang masa itu adalah masa berlangsungnya turunnya wahyu dan penetapan syari’at. Dan memang proses pensyari’atan adalah dengan model tadrij (bertahap), dan begitu juga turunnya al-qur’an juga berangsur-angsur (munajjaman) sesuai sosiokultural dan bersifat kasuistik
Para ulama’ sepakat bahwa al-Qur’an sebagai sumber utama dan pertama ajaran islam yang bersifat qath’iyyul wurud (serta keberadaanya), karena memang al-qur’an telah diriwayatkan secara mutawatir (di riwayatkan oleh sejumlah orang yang tidak mungkin membuat kesepakatan dusta). Selain diriwayatkan oleh public dan juga didukung oleh hafalan serta dokumentasi penulisan yang sangat akurat. Namun demikian, dalam hal dalalah (petunjuk yang terkandung dalam lafadh al-Qur’an), sejak semula (setelah meningalnya Rasulullah) telah terjadi perbedaan pendapat di antara para sahabat Nabi, karena memang sifat karakteristik teks al-Qur’an yang bersifat interpretative.
Makalah ini merupakan bahan diskusi kajian keislaman dengan tema sentral, “Membangun Maradigma Keislaman Plural-Transental” dalam Linkaran Studi & Pemerdayaan Umat “Ulul Albab” 
B.     Ragam pola pemahaman kandungan al-Qur’an
Berdasarkan polanya, pemahaman kandungan al-Qur’an dapat dibedakan dalam tiga pola. Yakni tiga produk pemahaman berikut; tafsir, ta’wil dan terjamaah. Tafsir adalah sebuah produk pemahaman terhadap al-Qur’an yang lebih menikberatkan pada makna-makna lafadz dan kata-kata, dan lebih mengedepankan dasar periwayatan sedangkan ta’wil lebih menikberatkan pada makna global dari suatu kalimat, serta lebih mengedepankan pemahaman (dirayah). Sedangkan tarjamah adalah pemindahan makna lafadz al-Qur’an ke dalam bahasa lain dengan tetap mengikuti tertib penulisan mushaf al-Qur’an.
Adapun jika dilihat dari sumber pengambilannya, pemahaman al-qur’an dapat diklasifikasikan dalam dua kategori, yakni, tafsir bil ma’tsur, tafsir izdiwaji dan tafsir birra’yi. Tafsir bil ma’tsur adalah model penafsiran (karya tafsir) yang hanya mendasarkan penafsirannya kepada ayat-ayat, atau hadis-hadis atau penafsiran para sahabat. Sedangkan tafsir birra’yi adalah penafsiran dengan mengendalkan pendapat atau hasil analisisnya seorang mufassir berdasarkan pada dirayah (penalaran).
Jika dilihat dari segi method pembahasannya dapat diklasifikasikan dalam 4 model, yaitu, tafsir tahlili, tafsir maudhu’I, tafsir muqarin, tafsir ijmali. Tafsir tahlili adalah sebuah karya tafsir yang mempergunakan method analisis komperhensip (menyeluruh). Sedangkan maudlu’I adalah tafsir dengan method tematik (hanya membahas tema tertentu). Sedangkan tafsir muqarin adalah karya tafsir komparatif (membandingkan penafsiran para mufassir lain). Adapun tafsir ijmali adalah karya tafsir dengan method penafsiran global dalam kalimlat atau ayat-ayat tertentu.
Dan jika dilihat dari segi corak keilmuan yang terkandung di dalamnya, dikenall istilah tafsir ilmi, tafsir adabi, tafsir sufi/ isyari, tafsir ijtima’I. tafsir ilmi adalah corak penafsiran yang sarat dengan nuansa keilmuan. Sedangkan tafsir adabi adalah corak sebuah karya tafsir yang lebih kental dengan kajian kesusastraan. Adapun tafsir sufi/isyari adalah sebuah karya tafsir yang sarat dengan nuansa kesufian atau isyarat-isyarat yang bersifat mistis. Adapun tafsir ijtima’I adalah karya tafsir yang lebih mendominankan pada kajian kemasyarakatan.
Macam-macam ragam karya tafsir yang dikenal dewasa ini, atau bahkan sejak masa klasik lebih dapat menjadikan bukti bahwa al-Qur’an bersifat sangat interpretative. Dan kebenarannya masing-masing karya tafsir adalah bersifat sangat nisbi. Masing-masing karya tafsir memiliki kebenarannya sendiri-sendiri, sesuai dengan sudut pandang dan method analisa yang mereka pergunakan. Pemilik kebenaran yang mutlak hanya Allah (al-Qur’an) itu sendiri. Tak ada seorangpun yang berhak menjustifikasi atau mengklaim atas kemutlakan penafsirannya.
C.    Pemahaman Tekstual
Pemahaman tekstual adalah model pemahaman yang paling klasik. Hal ini dapat kita ketahui dari tradisi kebanyakan sahabat Nabi yang dengan ketawadlu’-an (kerendahan hati) karena pengagungannya kepada kitab suci, tidak berani memahami al-Qur’an kecuali sesuai dengan makna yang terletak (tekstual) dan berdasarkan pemahaman Rasulullah saw. Hal ini juga dikarenakan adanya ancaman Nabi tehadap orang yang menafsirkan al-Qur’an secara sembarangan. Kecuali sahabat Umar ibn Khaththab ra. Yang telah pernah berani memahami al-Qur’an (ijtihad) dengan pemahaman yang bersifat kontekstual.
Akar sejarah pemahaman tekstualis, merupakan tradisi keilmuan islam sebenarnya berasal dari penghayatan makna sebuah kitab suci yang merupakan petunjuk langsung dari Allah swt. Yaitu Nabi Muhammad saw. Dan kelompok kebanyakan ini, selanjutnya dikenal denga istilah ahlul hadist (kelompok tekstual) atau ahlus sunnah (kelompok tradisional). Dan selanjutnya produk-produk penafsirannya dikenal dengan istilah tafsir bil ma’tsur (karena penafsirannya sepenuhnya berdasarkan hadis nabi). Dan di dalam tekstualitas pemahaman pada perkambangan selanjutnya juga mengalami perbedaan-perbedaan.
Corak tekstualitas pemahaman terhadap na al-Qur’an juga beragam. Ada yang sangat tekstual seperti madzhab dhohiriy, dan orang-orang khowarij. Ada yang moderat seperti mazhab syafi’I dan orang-orang yang bermazhab ahli sunnah wal Jama’ah, dan ada yang sangat akomodatif terhadap pemahaman ra’yu seperti para pengikut aliran Qadariyah atau mu’tazilah.
Tetapi pada umumnya ulama’ salaf memiliki pemahaman lebih mendekati pemahaman para ulama’ ahlul hadist, walaupun tidak terlalu tekstualis (moderat). Misalnya teks perintah potong tangan bagi pencuri yang tidak serte merta setiap pencuri dipotong tangannya, kecuali setelah memenuhi kreteria pencurian, perajanan dan penjilidan bagi pezina dll. Berbeda dengan cara pemahaman ulama’ salaf yang sunni tersebut, para ulama’ khowarij cara memahami al-Qur’an sangat tekstual, sehingga tidak memberikan kesempatan pada akal untuk memberikan interprestasi lain kecuali makna dhohir ayat. Bahkan orang yang memahami lain dari pemahamannya yang bersifat tekstual dianggapnya telah keluar dari islam (dar al-harb) harus diperangi.
D.    Pemahaman Kontektual
Corak pemahaman kontekstual terhadap al-Qur’an walaupun bersifat kurang populer di kalangan masyarakat Islam, tetapi sebenarnya juga telah ada semenjak masa sahabat, yaitu apa yang dilakukan oleh antara lain sahabat Umar ibn Khaththab ra. Demikian juga oleh ulama’ tabi’it tabi’in (generasi ke tiga) yang dipelopori oleh Imam Abu Hanifah, yang dikenal dengan istilah ahlur ra’yi (kelompok rasionalis). Produk pemikiran (karya tafsir dari kalangan ini dikenal dengan istilah tafsir bira’yi karena mendasarkan penafsirannya pada ra’yu).
Karena sebuah karya tafsir adalah melibatkan keseluruhan dari disiplin ilmu-ilmu keislaman, baik ilmu tauhid, fiqih maupun tasawuf, maka sudah barang tentu corak pemahaman al-Qur’an tersebut juga terpengaruh oleh pemahaman terhadap tiga keilmuan tersebut. Dan corak pemahaman kontekstual terhadap al-Qur’an maupun al-hadist dapat berkembang dalam masyarakat yang menganut aliran  qadariyah (rasionalis) atau kelompok mu’tazilah atau sebagian kecil dari kaum ahli sunnah wal jama’ah. Sedangkan di kalangan para penganut firqah jabariyah atau khawarij pemahaman tentang teks al-Qur’an relative tidak berkembang.
Akar sejarah pemahaman kontekstual telah dipelopori oleh sahabat Umar ibn Khaththab, yang telah berani berijtihad yang sama sekali menyalahi teks al-qur’an karena pemahaman kontekstual. Demikian juga Imam Syafi’I yang pernah menghasilkan fatwa-fatwa yang kontradiktif dengan fatwanya sendiri pada waktu yang lalu dengan istilah qaal qadim (fatwa lama) dengan qaul jadid (fatwa baru) hanya karena pemahaman kontektual. Dan juga Imam Abu Hanifah yang memang sejak semula hanya memegangi hadis Nabi yang benar-benar mutawatir (popular keorsinilannya) dan pendapat akal yang ilmiyah.
Corak kontektualitas pemahaman teks al-Qur’an, juga berbeda-beda. Ada tokoh yang sangat kontekstual sehingga hanya memegangi al-Qur’an dari spiritnya, misalnya para tokoh pembaharu, seperti al-Afghani, dengan tafsir al-Manarnya, Muhammad Abduh, dan para muridnya, serta ulama’modern. Akan tetapi ada juga yang memahami al-Qur’an dan menafsirannya secara kontekstual, tetapi ada juga yang memahami al-Qur’an dan menafsirannya secara kontekstual, tetapi masih mendekati maksa teks yang ada, seperti al-Zamakhasyari dengan al-Khasysyafnya, Fahrur Rozi dengan mafatihul Ghaibnya dll.
Dasar pemikiran para ulama’ modern tentang al-Qur’an adalah bahwa al-Qur’an merupakan ajaran global (semangat atau spirit), dan bukan semata-mata kitab perundang-undangan praktis. Sedangkan praktek Nabi dan para sahabat di zamanya hanyalah merupakan contoh yang bersifat kasuistik semata. Sehingga praktek al-Qur’an di setiap waktu atau zaman dan tempat yang melingkupinya. Misalnya pemahaman tentang menutup aurat wanita, pembagian waris dan bahkan semua teks yang menjelaskan masalah mu’amalah (hubungan sosial) haruslah difahami demikian. Kecuali masalah-masalah yang bersifat (ta’abbudi) peribadat murni, maka akal tidak perlu melakukan intervensi pemahaman.
E.     Penutup
Kajian tentang pemahaman al-Qur’an dengan berbagai macam ragam sudut pandangnya ini merupakan upaya untuk memahami, bahwa ragam madzhab dan aliran dalam agama merupakan keniscayaan kehidupan dan merupakan sesuatu yang justru akan melestarikan eksistensi agama dalam kehidupan umat manusia. Sehingga akan melahirkan sikap keberagamaan yang dewasa dan modern dengan memegangi prinsip hidup “Think Universally And Acting Locallly” (berwawasan universal dan bertindak lokal). Berwawasan universal dalam arti memahami ragam produk pemikiran dan cara piker orang lain, dan bertindak local dalam arti memiliki prinsip hidup yang dipegangi secara konsisten dalam tindakan kesehariannya.
Read more…

Ragam Pemikiran Dalam Teologi Islam


Ragam Pemikiran Dalam Teologi Islam
Oleh; Kharisudi Aqib
A.    Muqaddimah
Teologi Islam biasa disebut dengan ilmu kalam (ilmu perdebatan kata-kata) atau ilmu tauhid (ilmu tentang keesaan Tuhan). Disebut dengan ilmu kalam, kerena ilmu ini lebih mengandalkan pada dasarnya pijakan (argumentasi) yang bersifat dialektika verbal dalam mempertahankan keyakinan akan adanya Tuhan. Sedangkan penyebutan dengan mempergunakan istilah ilmu tauhid karena ilmu ini memiliki obyek kajian tentang kehamaesaan Allah.
Ilmu tauhid adalah sebuah disiplin inti keislaman dan bahkan termasuk dasar utama agama (ushuluddin). Ilmu ini merupakan bagian disiplin keilmuan yang muncul dari dimensi ‘aqidah (keyakinan) dalam Islam yang disebut dengan al-Iman. Yang batasannya menurut Nabi adalah;
1.      Yakin terhadap Allah,
2.      Yakin terhadap malaikat-malaikat-Nya,
3.      Yakin terhadap kitab-kitab suci-Nya,
4.      Yakin terhadap Nabi dan Rasul-Nya,
5.      Yakin terhadap hari akhir,
6.      Yakin terhadap ketetapan Allah (baik yang baik maupun yang buruk).
Ataupun yang biasa dikenal dengan istilah rukun Iman. Untuk kepentingan memahami enam rukun iman tersebut, maka munculnya ilmu yang spesifik yang disebut dengan imu tauhid atau ilmu kalam.
Realitas keislaman umat yang dapat disaksikan sekarang ini menampakkan beragamanya keyakinan yang masing-masing memiliki dasar pijakan yang bersifat teologis. Kenyataan seperti yang dapat disaksikan ini tentu tidak begitu saja muncul dan bukan realitas yang menempel dari luar. Akan tetapi muncul dari dasar ajaran Islam sendiri. Walaupun juga tidak dapat dipungkiri bahwa lainnya perbedaan dan perdebatan teologis umat Islam juga dipicu dan disuburkan karena pengaruh dari interaksi umat Islam dengan pemeluk agama dan peradaban lain.
Dimensi teologi adalah ranah diskursus dalam Islam yang paling ramai dan seringkali menimbulkan perpecahan umat yang cukup serius. Umat Islam memahami, bahwa kajian tauhid merupakan pokok kajian yang sangat prinsip. Keyakinan (‘aqidah) merupakan ikatan keagamaan seseorang. Seseorang dianggap beragama atau keluar dari agama berdasarkan benar dan tidaknya ‘aqidah seseorang. Sementara setiap muslim pasti tidak akan rela bila dikatakan bahwa dirinya telah keluar dari ‘aqidah Islam yang benar. Bahwa sebagian besar firqoh (aliran dalam teologi/ilmu tauhid) bersifat ekslklif. Ia   hanya mengakui kebenaran dirinya, dan menyalahnya yang lain. Karena cara berfikir dialektis (hitam-putih) ini, maka akhirnya menimbulkan konklusi yang bersifat sectarian.
Obyek perdebatan para mutakallimun (ulama’ ahli ilmu kalam), sebenarnya meliputi hamper keseluruhan tema dalam rukun iman. Akan tetapi yang cukup krusial sehingga menimbulkan polemik takfir (saling mengkafirkan), hanyalah dalam hal-hal yang menyangkut eksistensi Allah. Sifat-sifat Allah, taqdir Allah, kemaha-adilan Allah. Sedangkan tema utama yang muncul pertama kali dan menimbulkan kelompok-kelompok pemikiran dalam wilayah kajian teologi Islam yang disebut dengan firqoh. Di antara faham teologis firqah ini adalah semua sahabat Nabi adalah adil (dapat dipercaya), tidak membedakan antara Ali dengan sahabat Nabi yang lain. Bahwa pendosa besar (orang yang membunuh orang Islam) tidak kafir.
Firqah yang selanjutnya muncul adalah Khawarij. Ia muncul sebagai antitesa terhadap polemic yang berkepanjangan antara kelompok Ali ibn Abi Tholib dengan kelompok Mu’awiyah ibn Abi Shufyan. Anggota firqah khawarij adalah keluarga tentara setia pengikut Ali ibn Abu Thalib. Mereka kebanyakan adalah kaum Muslim pedalaman (badui) yang memiliki militansi dan keimanan yang kuat. Karena frustasi atas carut marutnya suasana politik Islam, dan sikap politik Ali ibn Abi Tholib yang dinilai kurang tegas dan Mu’awiyah yang dinilai licik, maka selanjutnya mereka mengambil sikap non blok yang ekstrim. Mereka memusui keduanya.
Di antara kaum Khawarij adalah, Nafi’ ibn al-Azraq (sehingga sektenya disebut Azariqah), Najdah ibn ‘Ami al-Hanafi (sehingga sektenya disebut al-Najdat). Dan Zaid ibn al-Asfar (sektenya disebut al-Sufriyah). Firqah ini memiliki banyak sekte, yang secara teo-politis masih berkembang hingga sekarang. Mereka itulah kaum foundamentalis Islam yang ditakuti oleh musuh-musuh Islam hingga sekarang.
Selain tiga firqah tersebut, ada firqah yang muncul murni dalam kaitan teologi dan tidak masuk dalam tema-tema teo-politis. Firqah tersebut adalah Jabariyah dan Qadariyah. Firqah yang pertama berkeyakinan akan keterpaksaan manusia (bahwa menusia tidak dapat menentukan taqdir dan nasibnya sendiri), sedangkan firqah yang kedua berkeyakinan, bahwa menusia bebas-merdeka menentukan taqdir dan nasibnya sendiri.
Dasar keyakinan teologi masing-masing firqah (jabariyah dan qadariyah) adalah sangat kuat. Yaitu ayat-ayat suci al-Qur’an. Misalnya;



والله خلقكم و ما تعملون.                                                                                                           



وما اصا ب من مصيبة في الا رضولافي انفسكم الا في كتا ب من قبل اننبراها ز.                                   



وماىميت اذرميت ولكن الله رمى.                                                                                               



 


Di antara tokoh kaum Jabariyah adalah jaad ibn Dirham. Ia adalah orang yang pertamakali muncul faham jabariya di dalam teologi. Di antara pahamnya adalah ia berpendapat bahwa Allah tidak layak disifati dengan sifat-sifat kemanusiaan, baik tokoh utama aliran jabariyah, tentang taqdir ia berpendapat; bahwa manusia tidak kuasa untuk bergerak. Gerak dan diamnya manusia adalah perbuatan Allah.
Sedangkan di antara tokoh kaum qadariyah adalah Ma’bad al-Juhaini. Dialah tokoh pertama yang mengembangkan faham qadariyah. Ia berpendapat bahwa manusia bebas menentukan perbuatannya. Termasuk perbuatannya yang salah. Dan Ghylan al-Dimasqy. Ia berpendapat bahwa menusia berkehendak sendiri dalam menentukan meninggalkan kejahatan atau melakukannya atas pilihannya sendiri.
Firqah yang lebih dekat pandangannya dengan kaum qadariyah adalah Mu’tazilah. Sedangkan yang lebih dekat dengan Jabariyah adalah Firqah Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Yang di antara tokoh pendirinya Abu Hasan al-Asy’ari, seorang mantan tokoh firqah mu’tazilah.
Di antara dua firqah ektrim tersebut ada firqah-firqah yang moderat, seperti ahlu sunnah wal jama’ah (Asy’ariyah dan Maturidyah) dan Syi’ah Zaidiyah.
Dalam tema yang lain, kaum mu’tazilah yang semula tidak turut dalam perdebatan teologis di belakang hari juga tampil dalam suatu perdebatan tentang hakekat al-Qur’an. Apakah ia sesuatu yang baru (hadist) atau sesuatu yang lama (qodim) sebagai sifat Tuhan yang inhern dengan Tuhan. Kelompok mu’tazilah yang kebanyakan berfaham qadariyah (rasional), ketika sedang berkuasa ia justru bertindak emosional dan ekstrim (mihnah) untuk para ulama’. Mereka semua dipaksa untuk mengikuti faham mu’tazilah yang berkeyakinan bahwa al-Qur’an sebagai kalamullah (firman Allah) adalah qadim sebagai mana Allah.

B.     Firqah-firqah dalam Teologi Islam
Firqah yang mula-mula muncul adalah firqah Syi’ah. Firqah ini merupakan kelompok kaum muslimin yang tasyayyu’ (memiliki kecondongan) terhadap Ali ibn Abi Tholib, baik secara teologis maupun politis. Mereka berkeyakinan bahwa yang berhak atas kekhalifahan setelah Nabi Muhammad adalah Ali. Sedangkan para sahabat yang lain sebuah konsipirasi politik yang batal.
Kekhalifahan adalah hak Ali berdasarkan petunjuk dan wasiat Nabi atas kaum muslimin. Di samping itu pengangkatan Abu Bakar juga dinilai batal karena dilakukan dalam suasana yang tidak kondosif serta tidak menyertakan keluarga Nabi (ahlul bait). Karena pada saat itu keluarga Nabi masih sedang mengurus jenazah Nabi. Sementaara pengangkatan Abu Bakar tidak cukup untuk dianggap telah kourum. Karena pemerintahan tidak sah, maka seluruh transaksi yang terjadi di seluruh negeri juga tidak sah.
Secara embrional firqah ini telah ada semenjak diangkatnya Abu Bakar as-Shiddiq sebagai Khalifar pertama. Akan tetapi firqah ini telah mencapai bentuknya yang sempurna ketika Mu’awiyah ibn Abi Shufyan (sebagai Gubernur Mesir) secara terang-terangan menentang Kekahlifahan Ali dan bahkan melakukan perlawanan secara militer yang berakibat terjadinya peperangan besar di antara sesame muslim.
Sedangkan firqah lawannya adalah Ahlussunnah (sunni). Kelompok ini adalah mayoritas kaum muslimin yang mengakui keabsahan Abu Bakar dan seterusnya. Karena pengangkatan khalifah tersebut telah didasarkan pada permusywaratan para sahabat Nabi yang tidak mungkin berkhianat. Firqah ini secara politis akhirnya mengerucut dalam sebuah kepemimpinan yang dipelapori oleh perseteruan yang berkepanjangan sehingga menimbulkan pertikaian yang tak kunjung berhenti, bahkan hingga sekarang.
Secara embrional dan faktual, firqah ini muncul dalam kasus politik. Tetapi sikap tersebut muncul karena keyakinan teologis yang moderat dan kompromistis. Mereka kebanyakan berfaham murji’ah (menangguhkan keadilan di hadapan Allah kelak), dan jabariyah (pasrah terhadap realitas), karena keyakinan bahwa itulah kehendak Allah. Itu adalah masalah eksistensi iman dalam diri seorang muslim pendosa (fasiq), masalah keadilan tuhan dan sifat-sifat-Nya, masalah taqdir (ketetapan Allah pada makhluk-Nya), dan masalah hakekat al-qur’an (apakah ia qodim atau hadist). Tema-tema tersebut selanjutnya menimbulkan banyak firqoh, yang antara satu dengan lainnya saling membanggakan diri dan merendahkan yang lainnya. Bahkan saling mengkafirkan. Sehingga menimbulkan perpecahan di kalangan umat islam dengan cukup parah.

C.    Sejarah Munculnya banyak Firqah
 Ekspresi pemahaman beragama yang beragam di dalam agama Islam sebenarnya telah ada semenjak Nabi masih hidup. Sebagian besar sahabat Nabi beragama dengan pemahaman tekstual, mereka mendengar dari Nabi dan melaksanakannya tanpa interprestasi. Tetapi sebagian lain menerima ajaran Nabi dengan intreprestasi. Demikian ragam pemahaman keagamaan umat terus berkembang seiring dengan perkembangan ragam suku, etnis, dan bangsa yang memeluk Agama Islam. Dan bahkan peradaban umat Islam dari zaman ke zaman.
Secara historis kemunculan firqah-firqah dalam teologi Islam muncul kepermukaan bukan karena persoalan-persoalan teologis, melainkan persoalan politik. Konflik politik yang terjadi di penghujung akhir pemerintahan Khalifah Usman ibn Affan berakhir dengan terbunuhnya sang Khalifah di tengah para demotran. Kasus pembunuhan terhadap kaum muslim tersebut, selanjutnya menimbulkan perselisihan pendapat di kalangan kaum muslimin. Yang pada perkembangan berikutnya menimbulkan kelompok Alawiyin (pendukung Ali ibn Abi Thalib) dan Amawiyin (pendukung Mu’awiyah ibn Abi Shufyan). Inilah embrio kelompok syi’i-sunni, yang merupakan dualism kelompok teo-politik islam yang berbenturab sampai dengan sekarang.
Di antara dua firqah yang memperdebatkan antara status keimanan seorang pembunuhan (pendosa besar) apakah ia tetap beriman atau kafir (lepas imannya). Sebagian besar kelompok berpendapat bahwa pendosa besar masih tetap Islam, tetapi masuk kategori fasiq. Di antara perbedaan pendapat itu, muncullah kelompok ekstrim “Khawarij”, yang memiliki faham bahwa seorang pendosa besar telah menjadi kafir dan harus diperangi (dibunuh). Ali, Mu’awiyah dan orang-orang yang menjadi penyebab perpecahan umat Islam adalah pendosa besar, maka mereka semua harus dibunuh, itulah pendapat kaum khawarij. Juga kelompok mengambang “mu’jiah” , yang menunggu jawaban di akhirat, serta kelompok apatis “mu’tazilah” yang tidak mau turut dalam perdebatan teo-politis tersebut.
Dalam tema teologi murni, selanjutnya juga muncul perdebatan tentang taqdir (ketetapan tuhan pada manusia). Apakah ia dapat dirubah oleh manusia apa tidak. Atau apakah manusia memiliki daya untuk menentukan taqdirnya, atau semata-mata menerima taqdir dari Allah secara pasif. Dari diskusi ini muncullah dua kelompok ekstrim yang kontras. Jabariyah berkeyakinan, bahwa manusia tidak memiliki daya sama sekali untuk menentukan taqdirnya, ia bagai wayang di tangan sang dalang. Sementara Qadariyah berkeyakinan, bahwa manusia kuasa penuh untuk menentukan taqdirnya sendiri. Ia bebas memilih jalan hidupnya, dan Tuhan tidak terlibat dalam prilaku manusia se-hari-hari. Tuhan hanyalah pembuat hukum alam (sunnatullah).
Read more…

SHOLAWAT ULUL ALBAB