PERSOALAN-PERSOALAN AKHLAK TASAWUF MASA KINI


Oleh : Dr. Kh. Kharisudin Aqib, M. Ag

A. Sekilas Pandangan Tentang Kehidupan Sufi
            Dari awal tumbuhnya tasawuf sampai pada abad ke delapan, tasawuf mengalami periodenisasi sejalan dengan perkembangan ajarannya. Dan dari setiap priode tersebut tasawuf telah meninggalkan persoalan-persoalan yamg mengundang perdebatan yang sengit di kalangan para ulama.
            Untuk membicarakan persoalan-persoalan tersebut khususnya yang timbul pada masa sekarang, perlu kiranya mengetahui pemahaman tentang tasawuf itu sendiri. Dr. Ibrahim Al Basuni dalam bukunya “Nasy’atus Tasawuf Al Islami” berusaha untuk mendefinisikan tasawuf setelah mengkaji empat puluh definisi yang berkembang pada abad ketiga sampai abad keempat hijriah, ia memberikan kesimpulan sebagai berikut :


            Tasawuf adalah kesadaran yang suci, yang mengarahkan adanya hubungan yang erat dengan zat yang mutlak adanya.

            Dalam definisi tersebut dapat ditegaskan bahwa tasawuf itu adalah suatu cara untuk menghubungkan diri seorang hamba dengan khaliqnya melalui mujahadah. Mujahadah yang dimaksud secara garis besarnya adalah taubah, zuhud, ridla, tawakkal, khulwat dan dzikir.[1]
1. Taubah
            Para ulama tasawuf memahami taubah dengan tiga tingkatan : taubah dari dosa, yang berarti taubat yang dilakukan oleh seorang hamba karena berbuat ma’siat (durhaka) atau disebut “taubatul jahilin”. Kedua taubah dari kotornya hati, yaitu yang dilakukan karena keinginan hati berbuat durhaka. Taubah ini sering disebut para ulama tasawuf dengan “taubatul ‘abidin”. Ketiga taubat karena melupakan Tuhan, yaitu taubat yang dilakukan karena hati melupakan Tuhan atau yang disebut “taubatul ‘arifin”.
2. Zuhud
            Para ulama taswuf mengartikan zuhud ini dengan pemahaman yang berbeda-beda, namun di sini dapat disimpulkan bahwa zuhud itu adalah tidak adanya perhatian seseorang hamba kecuali pada Tuhannya.
3. Ridla
            Ulama tasawuf memahami ridla ini merupakan buah dari zuhud, ridla dianggap berhasil bila dapat mengosongkan jiwa dari keinginan-keinginan yang bersifat keduniaan. Sedangkan tanda dari adanya ridla adalah : sedikit makan, iftiqar (merasa selalu butuh kapada khaliq atau sang pencipta) dan sabar menerima segala cobaan.

4. Tawakkal
Ahli tasawuf mengartikan tawakkal bahwa kehendak seorang hamba sepenuhnya ada pada kehendak Tuhan. Tanda-tandanya adalah : memutus hubungan dengan semua makhluk dan menyerahkan diri sepenuhnya pada Tuhan.
5. Khulwat dan Dzikir
            Khulwat dan Dzikir merupakan suatu kesatuan kata yang berarti berzdikir dengan cara menyepikan diri dari keramaian. Khulwat merupakan cara yag paling efektif dalam mencapai kesucian diri dan membuahkan kecintaan yang abadi terhadap Dzat yang mutlak. Dan hal ini tak mungkin dapat dilakukan kecuali dengan menjauhkan diri dari segala bentuk kemewahan hidup dan kehidupan dengan tiga hal yang tak dapat ditinggalkan.
-          Pertama adalah wahdah, yaitu konsentrasi hamba hanya pada ibadah semata.
-          Kedua, shahbah yaitu kebersamaan hati dengan orang-orang salhaleh.
-          Sedangkan ketiga, dzikir tidak hanya terbatas pada lisan dan tidak hanya terdapat pada suatu bentuk kata-kata, tapi dzikir merupakan peleburan diri seorang terhadap yang ia dzikiri, yang dalam hal ini adalah Dzat Yang MahaAgung.
B. Persoalan-persoalan Akhlak Tasawuf masa Kini
            Masyarakat sekarang adalah masyarakat yang harus siap menghadapi tantangan zaman dengan spiritual yang mantap untuk mangantisipasi dampak negative yang ada dalam dirinya dan terbawa oleh perkembangan zaman. Dalam hal ini Tofler mengatakan “bahwa merajalelanya kultus adalah gejala sosial yang membingungkan yang hanya dapat diterangkan jika kita melihat gejala-gejala negative masyarakat industry, yaitu kesepian, hilangnya struktur kemasyarakatan yang kukuh, dan ambruknya makna yang berlaku ; dengan kata lain masyarakat industry mengakibatkan alineasi atau keterasingan pada diri pribadi anggotanya. Alineasi itulah yang menyebabkan orang tertarik pada kultus-kultus. Sebab alineasi menimbulkan kesepian yang mencekam, yang menidurkan perkawanan akrab dan hangat, yang mendambakan suatu penjelasan tentang apa  dan kemana hidup ini.
            Abad mendatang adalah spiritual melalui agama-agama sehingga ada indikasi menaikkan spiritualisme di kalangan masyarakat lebih tinggi dari pada abad sebelumnya, sebagian mereka percaya bahwa “Tuhan adalah kekuatan spiritual positif dan aktif” meskipun gejala itu disertai dengan menurunnya peranan agama-agama formal kalangan muda yang terpelajar sekolah-sekolah tinggi, mereka menilai bahwa mereka sibuk dengan masalah-masalah keorganisasian dengan mengesampingkan isu-isu teologis dan spiritual, sehingga dikatakan mereka itu bukan manusia beragama melainkan berkerohanian.
            Sebagai  konklusinya,kita kembali kepada penegasan Nabi bahwa sebaik-baik agama di sisi Allah yaitu agama Islam, yang mempunyai semangat lapang dan terbuka harapan kepada agama yang berdaulat semangat kebenaran yang lapang dan terbuka itu sungguh besar untuk menolong manusia mengatasi alienasi zaman modern ini, yaitu persoalan baimana menakhlukan kembali ciptaan tangannya sendiri dan bagaimana agar manusia tidak terjerembab ke dalam praktek penyembahan berhala modern, dan bagaimana agar menusia selamat dari kekeramatan thaghut bentuk baru. Emile Dergemanghem, misalnya mengharab agar islam sebagai agama terbuka akan berkembang dan ikut perkembangan zaman sebagai seorang yang mendalami ajaran-ajaran tasawuf, dia melihat dalam Islam unsur-unsur keterbukaan itu, yang tinggal hanya terserah kepada penganutnya untuk berkembang, bahkan menurut pendapatnya Islam adalah humanism terbuka.
            Itulah landasan dasar  untuk menancapkan taring-taring tasawuf pada saat ini yang sangat didambakan oleh masyarakat. Sehingga sesuai dengan persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat dan yang menyangkut masalah tasawuf yang mendasr dan perlu dijawab adalah sebagai berikut :
1. Masalah Anti Dunia dan keseimbangan
            Pandangan sufi klasik yang anti dunia mengami perubahan yang paling mendasar pada zaman modern. Dr. Said Romadhon menawarkan spiritualisme sosial yang secara ringkas sebagai berikut :
  1. Membaca dan merenungkan kitab suci Al-Qur’an
  2. Mambaca dan mempelajari makna kehadiran Nabi melalui sunnah dan biografinya
  3. Memelihara hubungan dengan orang-orang shaleh seperti para ulama’ dan tokoh islam yang zuhud
  4. Menjaga diri dari tingkah laku tercela
  5. Mempelajari tentang hal-hal ruh dan metafisika Al-Qur’an dengan sikap penuh percaya
  6. Melakukan ibadah-ibadah wajibdan sunnah seperti sembahyang lima waktu dan sunnah rawatib dsb.
Sedangkan keseimbangan adalah sebagai berikut :
-          Jika orang dengan halus menghadapi dirinya kemudian memenuhi hak badannya, sejalan dengan sunnatullah dan hidup dengan damai di dunia dan akhirat.
-          Jika ia cenderung hanya kepada salah satu dari dua jurusan itu, sambil berpaling dari yang alin, maka ia telah berbuat dhalim pada dirinya dan menghadapkan dirinya itu menentang sunnatullah, barang siapa yang menghadapi dirinya itu menentang kebenran tentu akan hancur.
Maka orang ayng hidup sekarang yang hanya mementingkan harta berlomba untuk sepotong roti, tenggelam dalam urusan badani, sibuk dengan penghormatan kosong dan kemegahan palsu, menyia-nyiakan tuntutan akan dan kalbunya hanya untuk kenikmatan muspro itu, dia adalah orang yang terkecoh dari hakikat dirinya, terdinding dari inti hidup, ia menginginkan agar sunnatullah mengangkatnya ke dalam lam yang lebih tinggi, namun tergelincir dari kemuliaan itu, dan tetap saja memutuskan hubungan tersebut.
Sedangkan orang yang mengarahkan dirinya hanya untuk memenuhi tuntutan ruhnya lalu menggunkan waktu siangnya untuk puasa dan malamnya untuk berdiri (shalat), sepanjang umurnya untuk merenung sematasambil mengingkari hal-hal dari hidup duniawi lalu tidak berpakaian kecuali yang kasar, tidak makan kecuali yang kering kerontong dengan tujuan agar potensi hidupnyalahiriyah menjadi lemah dan menurut anggapannya agar potensi rohaniyahnya menjadi hebat, dia adalah orang yang bodoh tentang hakikat hidup, menyiapkan akan salah satu dari dua segi hidupnya. Cukup hal itu baginya sebagai kerugian dan pengingkaran terhadap perintah Allah. Itulah inti ajaran yang digambarkan Rasulullah saw. Tentang sikap hidup yang benar dan sehat, serta berlebihan itu adalah tercela biarpun mengenai sikap seorang hamba dalam kehidupan ruhnya. Sebab tidak terima dari hambanya jika sunah-Nya diabaikan kemudian menyangka bahwa sikap tersebut membawa kepada keridhaannya. Itulah sebnarnya konsistensi ajaran yang etrkandung dalam ajaran agama Islam. (QS. 28 :77).
2. Masalah ‘Uzlah
            Kalau Imam Al-Ghazali mengadakan pengasingan diri maka Hamka tidak dengan melakukan pengosongan diri atau ‘uzlah melainkan tetap aktif melibatkan diri dengan masyarakat. Hal ini juga difahami oleh Ibn Qoyim, Ibn Taimiyah dan juga tokoh Neo Sufisme yang dikategorikan oleh fazlurrahman. Sepanjang aktifitas keduniaannya (ekonomi, sosial, polotik dll.) tidak melupakan pada mengingat Allah adalah sah-sah saja, karena ‘uzlah atau nyepi tidak bermakna fisik. ‘uzlah adalah mengasingkan diri (jiwa) dari keramaian urusan dunia dengan melupakan ingat kepada Allah.
3. Masalah Hulul dan Wihdatul Wujud
            Tasawuf yang harus diwaspadai adalah yang ebraliran filsafat yang dinukil dari orang-orang India dan Yunani yang memiliki kenyakinan inkarnasi (hulul) dan wihdat al-wujud (menyatukan manusia dengan Tuhan) yang mengikuti kehendak perasaan yang jauh dari petunjuk-petunjuk Islam serta tidak dibenarkan oleh wahyu Ilahi ; begitu juga terdapat tasawuf yang serupa dengan kerahiban Budha dan Kristen yang etlah mengumumkan perang etrhadap jasad yang tidak berakal dan berniali atau mengesampingkan kehidupan dunia dan tidak menyibukkan diri terhadapnya. Tasawuf ini menjadikan mereka suatu generasi yang berdiam diri dan menjauh diri dari kehidupan sehingga Islam diselewengkan sepanjang masa, mereka tidak pernah berhasil meraih kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.
            Kita menolak keras aliran  tasawuf yang beraliran seperti itu, dan kita dengan tegas dapat memastikan bahwa Islam tidak membenaerkan dan bahkan mengingkarinya, dan hal itu berlawanan dengan fitrah manusia, berlawanan dengan ilmu pengetahuan dan tidak selaras denag ketinggian martabat manusia.
4. Masalah Ijtihad
            Ibnu Taimiyah, yang oleh Fazlurrahaman disebut sebgaia pelapor sufisme baru, tetap menunjukkan apresiasinya kepada ijtihad mereka dalam mendekati Allah melalui dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang mereka ajarkan. Ibnu Taimiyah dalam member apresiasi itu tanpa berarti meninggalkan  sikap kritisnya yang terkenal denagn sufisme popular, yang dengan praktek-praktek pemujaan kepada orang-orang suci dan kubur-kubur mereka itu, maka dalam sufi popular dalam pandangannya lebih mendekati syirik, begitu pula cara mereka dalam mendekati dzikir dan melakukan dzikir, Ibnu taimiyah sering melancarkan kritik yang tandas sekali, walaupun begitu secara keseluruhan dia memandang bahwa tasawuf dan sufisme adalah sejenis ijtihat dan mendekati Allah.
            Jadi dalam tasawuf ada unsur-unsur yang baik yang merupakan hasil ijtihad yang tulus untuk taat kepada Allah dan mendekat kepadanya, selain juga pada sekalian kaum sufi sendiri ada hal-hal yang merupakan hasil bid’ah. Hal ini sama saja dengan bidang kehidupan keagamaan lainnya dikalangan kaum muslimin. Sebagian berasal dari kitab dan sunnah yang kemungkinan terjadi ijtihad dalam pemahaman dan pemgalamannya, sebagian lagi adalah hasil pemahamamn yang tidak sah kepada agama yang bid’ah.
5.Masalah Dzikir
            Dengan ajaran sufisme mengajarkan tentang dzikir yaitu ingat kepada Allah dengan berbagai macam bentuk lafadh mufrad yang banyak di cantumkan dalam Al-qur’an. Tetapi dengan pendangan sufisme baru, sekurang-kurangnya menurut Ibnu Taimiyah, dzikir dengan nama tunggal/isim mufrad, tidak dianjurkan menurut petunjuk Nabi sendiri, dzikir yang utama adalah kalimat lengkap “ Laa Ilaaha Illallah “ karena di situ terkandung kalimat lengkap, yaitu peniadaan jenis penyembahan apapun kecuali kepada Allah sebagai satu-satunya yang boleh berhak dan harus di sembah.
            Dengan dzikir dengan kalimat lengkap dan bermakna, maka menurut Ibnu Taimiyah, seseorang lebih terjamin dari imanya karena kalimat serupa itu adalah aktif, menegaskan makna dan sikap tertentu yang positif dan baik sedangkan dzikir dengan lafadh tunggal belumlah tentu demikian, lebih menarik lagi ibnu Taimiyah memperluas lingkungan makna dan semangat dzikir kepada Allah iti sehingga meliputi semua aktifitas (akan fasilitas) manusianya yang membuatnya dekat kepada Allah seperti mempelajari dan mengajarkanya serta menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar.
            Itulah beberapa permasalahan yang sempat penulis hantarkan sebagai kesimpulannya bahwa penghayatan keagamaan batini yang menghendaki hidup aktif  dan terlibat dalam masalah-masalah kemasyarakatan yang sesekali menyingkirkan diri (‘uzlah) mungkin ada baiknya tapi jika hal itu untuk menyegarkan kembali wawasan dan meluruskan pandangan yang kemudian dijadikan tolak untuk melibatkan diri dalam aktifitas lebih lanjut. Pengalaman metafisis pribadi adalah boleh saja namun bersifat pribadi dan tidak berlaku untuk orang lain, juga tidak boleh diklaim bahwa itu yang paling benar, sebab kebenarannya sebanding dengan kebersihan hati yang paling benar, pengalaman itulah sumber kebahagiaan hidup pribadi yang tidak ada taranya, namun hal itu tidak disertai orang lain atau orang lain tidak dapat disertakan ke dalamnya. Sufisme baru mengharuskan praktek dan pengalamannya tetap dalam control kitab dan sunnah. Tetapi sufisme baru mengajarkan dibukunya peluang bagi penghayatan makna keagamaan dan pengalamannya yang lebih mendalam yang tidak terbatas hanya segi lahiriyah belaka.
            Sehinggga tidak heran jika pembaharuan-pembaharuan dalam memahami sufi, contohnya pemahaman tarekat modern yang dipahami tarekat Suralaya yang intinya sebagaimana dikatakan dalam Ulumul Qur’an “Kejarlah dunia sebanyak-banyaknya , kejarlah pangkat dan harta sebanyak-banyaknya, tetapi semua itu tidak membuat engkau lengah untuk berdzikir kepada Allah, “bahkan mengejar kepentingan dunia itu harus dalam rangka ibadah kepada Allah.
            Hal yang lebih mendasar dari berbagai persoalan-persoalan yang sering kali muncul dan menjadi bahan perbincangan dan kajian di antara kaum muslimin adalah apakah kehidupan sufistik masih relevan atau aplikatif dalam kehidupan masyarkat modern seperti sekarang ini atau mungkin masih tetap dapat berlaku dengan beberapa modifikasi dalam penerapannya sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia di abad modern ini, sesuai dengan hikmah kerasulan Nabi Muhammad saw. Dan syari’at agama Islam.

            Dan aku tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat untuk semua alam. (QS. 21 : 107).


[1] Ibrahim Basuni, Nasy’atut Tasawuf Al Islami, Kairo, 1969, hlm. 117-157.
Read more…

TOKOH-TOKOH SUFI DAN AJARAN - AJARANNYA

           Oleh : KH. Kharisudin Aqib, M. Ag
 Banyak  orang sufi yang ternama dalam Islam, disamping berkembangnya tasawuf dari abad kea bad juga muncul dari berbagai Negara yang dominasi masyarakatnya Islam. Dalam diktat ini hanya diambil beberapa tokoh saja, diantaranya :
A. Ibnu ‘Araby
            Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah Abu Bakar Muhyiddin ibnu ‘Araby Al-Hatimi At-tahi. Lahir di Mercia (Andalusia) 17 Ramadhan 560 H. (28 Juli 1165 M) dan meninggal di Damaskus tahun 1240 M.[1]
            Bila orang membicarakan filsafat, nama Ibnu ‘Araby termasuk, dan didalam daftar sufispun beliau populasir. Dalam teorinya di bidang tasawuf, yaitu:
1. Wihdatul Wujud
            Dia telah menegakkan fahamnya dengan berdasarkan renungan filsafat dan dzauq tasawuf. Baginya wujud itu hanya satu, wujud makhluk adalah ‘ain wujudnya khaliq, dan wujud alam adalah ‘ain wujudnya Allah, Allah adalah hakikat alam. Tak ada perbedaan antara makhlukdankhaliq, perbedaqan itu hanya rupa dan ragam dari hakikat yang Esa. Oleh karena Tuhan dan lam merupakandua sisi atau wajah dari satu hakikat, yakni dari segi lahir disebut alat dan dari segi batin atau hakikat disebut Tuhan.
2. Al – Haqiqatul Muhammadiyah
            Allah adalah wujud yang mutlak, maka Nur (Allah) itu sebagian hakikat Muhammadiyah, dan itulah sebagai kenyataan yang pertama dalam Uluhiyah. Dari situ terjadilah segala alam, seperti alam Jabarut, alam Malakut, alam Ajsam, alam Arwah. Haqiqatul Muhammadiyah merupakan sumber yang qadim, melimpahkan Nurnya secara komplit dengan ilmu dan amal kepada para Nabi dan Auliya’ dan semua insane yang kamil. Nur Muhammad itu qadim, sebab ia sebagian dari yang satu, yang tunggal. Nur Muhammad tetap ada biarpun tubuhnya telah wafat, sebab ia adalah sebagian dari Tuhan.
3. Kesatuan Agama
            Akibat dari kedua teori di atas, timbullah teori kasatuan agama, bahwa yang disembah oleh semua penganut adalah Dia (Allah) yang maha Esa. Adapun berhala, ka’bah dan sebagainya hanyalah sekedar lambang. Biarpun tak ada lambang yang berbentuk, apabila Allah yang disembah, maka ibadah itu adalah sah.[2]
B. Ibnu Taimiyah
            Taqiuddin Abdul Abbas bin Abdul Halim bin Abdussalam bin Abdullah bin Muhammad bin Taimiyah. Lahir di Harran pada senin tanggal 10 Rabiul Awal 661 H (22 Januari 1263 M), dan meninggal di Damaskus pada tahun 726 H (1328 M).
            Adapun ajaran Ibnu Taimiyah lain dengan ajaran Ibnu ‘Araby. Beliau penentangberat dari ajaran Ibnu ‘Araby dalam paham Ahli Wihdah, Ahli Hulul dan Ahli Ittihat.
            Ajaran – ajarannya, antara lain :
  1. Hubungan makhluk dengan khaliq adalah langsung tanpa perantara, tidak boleh memakai perantara atau wasilah.
  2. Perhubungan langsung itu berpedoman pada petunjuk Rasulullah saw. Dengan lengkap, tak boleh berlebih atau berkurang, karena akan meninggalkan derajat iman.
  3. Muhammad adalah hamba Allah dan pesuruh Allah dan barang siapa yang memakai cara hidup seperti yang digariskan beliau, dapat menjadi waliyullah.
Disini bahwa Ibnu Taimiyah berusaha mengembalikan umat kepada keaslihan ajaran Nabi Muhammad saw. Mengenblikan tasawuf ke pangkal tauhid.[3]
C. Hasan Basri
            Beliau adalah seorang zahid yang amat masyhur dalam kalangan tabi’in. lahir pada tahun 21-110 H. beliau juga yang pertama kali membicarkan ilmu-ilmu kebatinan, kemurnian akhlak, dan usaha mensucikan jiwa di masjid Bashrah. Segala ajarannya tentang kerohanian yang senantiasa diukur dengan sunnah-sunnah Nabi.[4]
            Pandangan tasawufnya senantiasa bersedih hati dan takut, sehingga membawa kepada pendirian beliau untuk zuhud, menolak akan kemegahan, semata menuju kepada Allah, tawakkal, antara takut dan mengharap tidak pernah terpisah. Dan rupanya pendirian hidup Hasan Basri itu dijadikan pedoman oleh seluruh ahli tasawuf.
            Terkutip ajaran-ajaran beliau sebagai berikut :
  1. Perasaan takutmu sehingga bertemu demgam hati yang tenteram, lebih baik dari pada perasaan tenterammu yang kemudian menimbulkan takut.
  2. Dunia adalah negeritempat beramal. Barang siapa yang bertemu dunia dalam rasa benci kepadanya dan zuhud, maka akan berbahagialah dia dan beroleh faedah.
  3. Tentang tafakkur. Tafakkur membawa kita kapada kebaikan dan berusaha mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat, kenudian meninggalkannya.
  4. Orang yang beriman adalah orang yang telah berduka cita pagi dan sore, karena dia hidup di antara dua ketakutan (akan dosa yang lampau dan balasan yang akan menimpanya).[5]
D. Al – Ghazali
            Nama besarnay Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al- Imam Al-Jahl, Abu AHmid Ath Thusi Al-Ghazali. Populair dengan gelar Hujjatul Islam, karena banyak pembelaannya kepada keislaman. Beliau lahir di Thusia pada tahun 450-505 H (1058-1111 M.).[6]
            Al-Ghazali berhasil membela kemurnian Islam dari dua serangan :
-          Pertama, serangan dari dunia filsafat yang menjadikan ilmu tentang ketuhanan berupa pengetahuan ahli semta-mata yang membingungkan umat Islam.
-          Kedua, mengembalikan tasawuf sesuai dengan syari’at Islam yang sebelumnya telah keterlaluan dan membahayakan amal syari’at Islam.
Perhatian Al-Ghazali banyak dicurahkan di bidang akhlak sopan santun yang tercakup dalam kitab Ihya’ Ulumiddin, yang isinya terbagi menjadi 4 jilid:
  1. Bagian Ibadah             : Tentang rahasia beribadah
  2. Bagian Adab               : Tentang sopan santun
  3. Bagian Kejahatan        : Tentang penyakit-penyakit dan keburukan dunia serta cara  membersihkan hati.
  4. Bagian Pujaan             : Tentang Syukur dan cinta.
Al-Ghazali mencapai kesufiannya berawal dari perasaan syak yang timbul dari ilmu kalam (teologi), mengapa terjadi perbedaan atau pertentangan pendapat ? Beliau harus berfikir mana yang benar, sehingga kemudian masuklah sebagai filosof islam (mempelajari ilmu filsafat) sebagai halnya dalam ilmu kalam, dalam filsafat Al-Ghazali juga menjumpai argumen-argumen yang tidak kuat. Akhirnya dalam tasawuflah ia memperoleh raga syak yang lama mengganggu dirinya.[7]
Dengan demikian satu-satunya pengetahuan yang menimbulkan kenyakinan akan kebenarannya bagi Al-Ghazali adalah pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari Tuhan dengan Tasawuf. Beliau menolak ajaran-ajarannya Ibnu ‘Araby juga Al Hallaj tentang (Hulul atau Wihdatul Wujud). Kemudian memurnikan kembali pada tauhid yang benar, yang berpangkal pada sunnah Rasul saw.
Tasawuf Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah terdapat sedikit perbedaan, yang mana Ibnu TAimiyah dalam zuhudnya masih mau ikut dalam berperang demi keberadaan masyarakat Islam. Akan tetapi sebaliknya, beliau hanya mementingkan dirinya sendiri, mencari keselamatan sendiri, tanpa memperdulikan keadaan dunia masyarakat.
Adapun ajaran-ajaran Al-Ghazali antara lain :
  1. Dengan ilmu klam saya dapat mengatakan bahwa Allah itu ada, tetapi adanya Allah itu tiada saya rasa.
  2. Allah itu hendaknya terasa bukan terpikir.
  3. Dalami dahulu benar-benar rasa tauhid atas dasar LAA ILAA HA ILLALLAH menurut  Al-Qur’an dan hadits, bilamana tidak, engkau akan sesat dalam Whdatul Wujud.
  4. Dengan tauhid menimbulkan iman, dengan taat menjalankan syari’at terlihatlah cinta Allah dan Rasul. Maka siapa yang tidak bertauhid, dia tidak beriman.
  5. Jangan perdulikan keadaan dunia, terimalah takdir Allah dengan sabar dan tahankanlah penderitaan, kedhaliman raja-raja, karena itu adalah cobaan.

E. Al-Hallaj
Nama besarnya adalah Abu Wusith Al-Husain bin Manshur Al-Hallaj Muhammad Al-baidhowi. Lahir di Thur, salah satu desa dekat Baida di Persia, pada tahun 244H dan meninggal tahun 309 H. dan merupakan salah seorang murid dari Sahl bin Abdullah At Tusturi dan berguru pula pada Amar Al-Makki dan Al-Juanaid.[8]
Al-Hallaj hidup di zaman pemerintahan khalifah Al-Maktadirbillah. Dan ia kawin dengana nak Abu Ya’kub Al-Aqtha’. Pernah dua kali ia ditahan polisi kerjaan Abbasiyah dan atas perintah perdana menteri Ibnu Isa dalam tahun 913 H. Al-Hallaj dipenjara selam 8 tahun.
Ajaran-ajarannya banyak dilukiskan berupa puisi atau terkandung prosa. Adapun sari teorinya adalah tentang: Hulul, An Nurul Muhammad dan perdamaian seluruh Agama. Dan isinya tidak berbeda denagn teori Ibnu ‘Araby yaitu :
1. Al-Hulul
            Yaitu bersatunya Al-Khaliq dengan makhluk, menjelmalah Tuhan kepada dirinya apabila seseorang bersih batinnya dan senantiasa hidup dalam kehidupan batiniyah maka pada mulanya ia muslim, lalu mukmin, lalu shaleh dan yang terakhir muqarrab pada Allah setelah ia sampai pada Hulul.
2. An-Nurul Muhammadiyah
            Cinta kepada Allah adalah sebagai cinta yang pertama dan cinta kepada Muhammad sebagai cinta kedua, sebab Muhammad adalah penjelmaan yang Esa, Dialah yang batin dalam hakikat dan lahir dalam ma’rifat. Jadi Muhammad sendiri sebagai Abdullah dan Aminah serta sebagai Nur yang terlimpah, Allah memancarkan diri-Nya kepada sesuatu yang dinamai Muhammad.
3. Perdamaian Seluruh Agama
            Agama islam menuju pada Allah. Jadi antara agama yang satu dengan yang lain tak ada bedanya, hanya perbedaan jalan saja dan itu merupakan taqdir Allah tak perlu diperselisihkan, maksud dan tujuannyapun sama, yeitu kembali pada Allah.
           
            Akibat dari ajaran-ajaran tersebut, beliau dihukum pancung oleh pemerintah, karena dianggap membahayakan dan merupakan ajaran yang sesat.[9]


[1] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemikirannya, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1983, hlm. 138.
[2] Ibid, hlm. 142.
[3] Ibid, hlm. 215.
[4] Ibid, hlm. 70.
[5] Ibid, hlm. 71.
[6] Hussein  Bahreisy, Ajaran-Ajaran Akhlak Imam Al-Ghazali, Al-Ikhlas, Surabaya, 1981, hlm. 11.

[7] Ibid, hlm. 12
[8] Hamka, op. cit. hlm.108.
[9] Ibid, hlm. 109.

Read more…

Video Kajian Tasawuf

Read more…

SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF DALAM ISLAM


Oleh, Dr. KH. Kharisudin Aqib, M. Ag

A . Makna Kehidupan Tasawuf
            Banyak sekali arti dan pengertian tentang tasawuf yang dikemukakan oleh para ahli. Ada yang mengatakan bahwa kalimat tasawuf itu diambil dari shafw,artinya bersih, atau shafa yang artinya bersih juga. Ada sebagian lagi yang berpendapat bahwa kalimat itu diambil dari “Shuffah” yaitu suatu kamar di samping masjid Rasulullah di Madinah (seperti telah dibahas terdahulu). Ada juga yang mengambil sandaran kalimat ini dari “Shaff” yaitu barisn-barisan shaf ketika sholat. Ada pula yang , mengambil sandarannya dari kalimat “ Shau fanah” yaitu sebangsa buah-buahan kecil berbulu-bulu yang banyak tumbuh di Arab.[1]
            Tetapi penyelidik-penyelidik Barat mengatakan bahwa kalimat tasawuf itu diambil dari dua kata Yunani, yaitu Theo dan Sofos. Theo artinya Tuhan, Sofoa artinya Hikmat.
            Adapun definisi dari tasawuf adalah sebagaimana duikemukakan ole Al-Junaid :
            Tasawuf ialah membersihkan hati dari apa yang ganggu perasaan kebanyakan makhluk, berjuang meninggalkan pengaruh budi yang asal (instink) kita, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia, menjauhi segala seruan dari hawa nafsu, mendekati sifat-sifat suci kerohanian, dan bergantung kepada ilmu-ilmu hakikat, memakai barang yang terlebih penting dan terlebih kekal, menaburkan nasehat kepada sesame umat manusia, memegang teguh janji dengan Allah dalam hal hakikat, dan mengikut contoh Rasulullah dalam hal syari’at.[2]
            Ada juga yang mengartikan :”Tasawuf adalah kemerdekaan sehingga manusia terbebaskan dari ikatan-ikatan nafsu kemarahan hati.”[3]
B. Sejarah Perkembangan Tasawuf
            Kehidupan sufi itu sudah terdapat pada diri Nabi. Sehari-hari ia hidup sederhana dan menderita, disamping ia menghabiskan waktunya dalam ibadat, dalam mendekati Tuhannya. Nabi Muhammad yang member contoh pertama tentang hidup sederhana itu, tentang menerima seadanya, menjadikan hidup rohani lebih tinggi dari pada hidup kebendaan yang mewah, dan mengajak manusia untuk meninggalkan berebut-rebutan kekayaan dan kesenangan dunia, dengan meninggalkan tujuan hidup yang pokok. Ia member contoh bahwa kekayaan dan kesenangan itu tidak abadi, ia mengajak agar mencari kelezatan hidup yang lebih tinggi dari pada itu, yaitu hidup sepanjang ajaran pencita dunia ini.
            Tetapi perkataan tasawuf atau perkataan sufi belum dikenal orang dalam zaman Nabi atau sahabat-sahabatnya. Hanya dari perkataan yang diucapkan mereka serata perbuatan-perbuatan yang dikerjakannya dapat ditarik kesimpulan, bahwa hidup mereka itu lebih banyak diarahkan kepada kehidupan rohani dari pada kehidupan duniawi. Amal-amal kerohanian ini tampak jelas dilihat dalam ibadat-ibadat agama mereka. Jika orang lain melakukan ibadat itu hanya untuk memenuhi syarat rukun agama semata-mata, mereka menunaikannya dengan tujuan yang lebih mendalam, mencari hikmah-hikmah yang lebih tinggi dari pada amal perbuatan lahir semata-mata.[4]
            Pada abad I Hijrah, lahirlah Hasan Al-Basri (meninggal 110 H.) dengan ajarannya mengenai khauf, mempertebal takut kepada Tuhan, begitu juga tampil ke muka-muka guru yang lain, yang dinamakan  qari’, mengadakan gerakan memperbaruhi hidup kerohanian dalam kalangan kaum muslimin. Sebenarnya bibit sufi sudah muali ada sejak itu, garis-garis besar mengenai tariq atau jalan beribadat sudah kelihatan disusun, dalam ajaran-ajaran yang dikemukakan di sana sini sudah mulai dianjurkan mengurangi makan, juga menjauhkan diri dari kehidupan duniawi, zuhud dan zimmidunya, termasuk kerinduan kepada harta benda dan kecintaan kepada keluarga, kethamaan kepada nama dan kedudukan.[5]
            Dalam abad II Hijrah timbul ajaran-ajaran baru yang penuh dengan hikmah, orang tidak puas lagi dengan hokum fiqh yang kering. Orang lalu memakai istilah-istilah yang pelik mengenai kebersihan jiwa, thaharatun nafsi, kemurnian hati, naqaul qalbi, hidup ikhlas, menolak pemberian orang, bekerja mencari makan dengan tanga sendiri, berdiam diri, menyedikitkan maka, memerangi hawa nafsu dengan khalwat, melakukan perjalanan dan safar, berpuasa, mengurangi tidur atau sahar, serta memperbanyak dzikir dan riadlah. Lalu sampailah pada abad yang III Hijrah, orang membicarakan latihan rohani yang dapat membawa manusia kepada Tuhannya. Jika pada akhir abad II ajaran sufi merupakan kezuhudan dalam abad III ini orang sudah meningkatkan kepada wusul atau ittihat dengan Tuhan. Orang sudah ramai membicarakan tentang lenyap dalam kecintaan, fana fil mahbub, kekal dengan Tuhan, melihat Tuhan, musyahadah, bertamu dengan Tuhan, Liqa’, dan menjadi satu dengan dia, ainul jama’, sebagai yang diucapkan Abu Yazid Busthami, dengan teriakan : “ Sayalah yang Hak itu ” (Ana al-Haq), atau dengan masukan Tuhan, hulul, sebagai yang dipertahankan oleh Al Hallaj (meningggal 309H.).
            Dalam abad III Hijrah dan selanjutnya ilmu tasawuf sudah demikian berkembang kemajuannya, sehingga sudah merupakan madzhab, bahkan seolah-olah merupakan agama yang tersendiri. Guru-guru tasawuf itu mempunyai pengaruh besar, merupakan pengarang-pengarang yang ternama, sehingga kitab mengenai ilmu apapun yang terdapat dalam isalm diberi corak dan rasa tasawuf itu. Terutama dalam ilmu akhlak tidak dapat ulama’-ulama’ lebih sanggub menyamai keistimewaan mereka.[6]
C. Runtuhnya Gerakan Tasawuf (Sufisme)
            Orang sufi melihat kerusuhan dalam dunia ini disebabkan oleh dua keadaan, pertama karena manusia itu tidak percaya adanya Tuhan, kedua karena manusia itu terlalu mencintai dirinya sendiri. Sebab pertama mengakibatkan tidak takut dan tidak patuh kepada perintah dan larangan Tuhan. Sebab yang kedua mengakibatkan mencintai harta benda dan kekayaan, mencintai makanan dan minuman yang lezat, mencintai anak istri yang berlebih-lebihan, mencintai kedudukan dan pengaruh yang akhirnya membawa kepada kecintaan yang sangat kepada dunia dan ingin hidup kekal di atas permukaan bumi.[7]
            Seorang peneliti mesir modern mencatat adanya penyimpangan tasawuf dinegerinya sejak terjadi kekalutan-kekalutan ekonomi dan politik pada paruh kedua abad IX H/15 M. dan awal abad X H/16 M. Gambaran yang  tergurat dalam kehidupan tasawuf dalam kurun-kurun tersebut menyingkapkan betapa kebodohan berjaya penuh atas nalar normal. Wali-wali kenamaan tak cuma memamerkan penghinaan keji terhadap kewajiban-kewajiban ritual islami, tapi juga menciptakan bualan agar shalat ditinggalkan, legenda-legenda tentang keajaiban-keajaiban dikaitkan dengan tokoh sufi. Khurafat dan tahayul tumbuh subur dan membaurkan perklenikan dengan cita-cita mulia. Hidup memalukan, berlaku tidak senonoh, bicara tak karuan, merupakan jalan mulus menuju ketenaran, harta dan tahta. Para sufi akan menciptakan bualan-bualan khufarat, dan mereka bernafsu meraih pujian masyarakat disamping menumbuhkan kepercayaan bagi pernyataan-pernyataan mereka tentang berbagai kekuatan ghaib. Sementara itu magis memperoleh kedudukan yang kian besar dalam khasanah amalan mereka, sedang tasawuf terdahulu sama sekali bersih dari berbagai mistik.
            Demikianlah masa gelap tasawuf sufisme pada akhir hayatnya. Hal ini merupakan gambaran yang keseluruhannya berada di hadapan mata pemikir-pemikir muslim modern, sewaktu nereka menulis tentang gerakan tasawuf secara umum. Bisa dipahami kebangkitan kembali ilmu pengetahuan dalam Islam dibarengi dengan reaksi keras terhadap pelbagai penyelewengan dan perklenikan, yang memang pantas dipandang sebagai biang keterbelakangan umat. Tasawuf kini kian menjadi sasaran pertama gempuran para cendekiawan yang berang, yang ingin melihat negerinya merdeka, dan bangsanya terlepas dari belenggu perbudakan spiritual.[8]


[1] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniaannya, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1993, Hlm. 79.
[2] Ibid, Hlm. 82.
[3] Al-Hujwiri, Kasyful Mahjub, Mizan, Bandung, 1993, hlm. 51.
[4] Aboebakar Atjeh, Pengantar  sejarah Sufi dan Tasawuf, Ramadhani, Sala, Cet. V, 1990, hlm. 46.
[5] Ibid, hlm. 156.
[6] Ibid, hlm. 58
[7] Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, Ramadhani, Sala. Cet. VI, 1990, hlm. 23.
[8] Aj. Arberry, Pasang Surut Aliran Tasawuf, Mizan, Bandung, Cet. IV, 1993, hlm. 158.
Read more…

PEMBAGIAN ALAM PRAKTIS DAN TEORITIS DAN HUBUNGANNYA DENGAN ETIKA, MORAL DAN SOPAN SANTUN

Oleh : Dr. KH. Kharisudin Aqib, M. Ag
            Sebelum membahas hubungan alam praktis dan teoritis dengan etika, moral dan sopan santun, maka terlebih dahulu akan berbicara tentang etika, moral dan sopan santun.
            Seringkali kita memberi hokum beberapa berbuatan seseorang bahwa ia baik atau buruk, benar atau salah, hak atau batil, hokum ini berlaku pada setiap manusia baik yang tinggi kedudukannya maupun yang rendah, baik perbuatan itu kecil ataupun besar, tapi yang menjadi persoalan adalah tahukah kita arti sebuah kebaikan atau keburukan, dapatkah kita mengukur baik dan buruk tersebut? Maka disini kita perlu suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk yang disebut etika, ilmu ini menerangkan pa yang seharusnya dilakukan oleh setengah manusia kepada lainnya, serta tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan yang harus dituju.
            Menurut Socrates bahwa intisari etika adalah budi,[1]  arti budi adalah tahu, maka siapa yang tahu akan kebaikan maka dengan sendirinya terpaksa berbuat baik, untuk itu perlulah orang pandai menguasai diri dalam keadaan apapun, dalam suka maupun duka, dan apa yang pada hakikatnya baik, juga baik diri kita, sebaliknya apa yang pada hakikatnya buruk, maka buruk juga bagi kita. Dan baik adalah merupakan jalan untuk mencapai kesenangan hidup, karena pada dasarnya manusia adalah baik seperti hanya sebuah benda yang mempunyai tujuan, sedangkan tujuan manusia adalah kebaikan sifatnya dan kebaikan budinya. Dengan moral dan sopan santun yang tinggi, manusia akan dapat meraih tujuan hidupnya tersebut.
            Sedangkan menjadi pokok permasalahan pada etika adalah segala perbuatan yang timbul dari orang yang melakukan dengan sengaja dan ia mengetahuai waktu melakukan perbuatan tersebut, misalnya orang mendirikan rumah sakit yang mana rumah sakit itu dapat bermanfaat bagi masyarakat yang meringankan penderitaan sesame. Maka hal ini dapat kita hukumi baik atau buruk. Demikian juga segala perbuatan yang tiada kehendak tetapi dapat diikhtiarkan sewaktu sadar, misalnya seseorang telah meninggalkan sholat karena tertidursebab ia kena penyakit tidur, karenanya ia tidak dituntut sewaktu ia meninggalkan sholat karena tidak timbul dalam kehendaknya, tetapi ia dituntut bila tahu bahwa ia terkena penyakit tidur dan ia tahu bahwa ia selalu melakukan perbuatan meninggalkan sholat kalau tidur sebelum melakukan sholat.
            Dan apa yang timbul bukan dengan kehendak dan tiada dapat dijaga sebelumnya sepeti bernafas, detak jantung dan memicingkan mata dengan tiba-tiba waktu berpindah dari gelap ke cahaya dan lain sebagainya, hal ini bukanlah pokok permasalahan etika karena tidak dapat dihukumi baik ataupun buruk, dan bagi yang menjalankannya tidak bisa kita sebut baik atau buruk, begitu juga yang tidak menjalankannya tidak bisa kita hukumi baik atau buruk.
            Adapun hubungan etika, moral dan sopan santun dengan alam praktis dan teoritis ada perbedaan pendapat yaitu ;
1.Faham intuition
Faham ini berpendapat bahwa tiap-tiap manusia itu mempunyai kekuatan instinet batin yang dapat membedakan baik atau buruk dengan selintas pandang. Terkadang kekuatan ini berbeda sedikit karena masa dan miliu, akan tetapi berakar dalam tubuh tiap-tiap manusia. Apabila ia melihat suatu perbuatan, ia mendapat semacam ilham yang dapat memberi tahu nilai perbuatan itu, lalu menetapkan hokum baik dan buruknya, oleh karena itu kebanyakan manusia sepakat seia sekata mengenai keutamaan seperti bena, dermawan dan berani, sebagaimana mereka mufakat pula bahwa sebaliknya adalah sifat-sifat yang keji.
            Kita dapat melihat anak-anak yang belum mendapat ilmu pengetahuan yang cukup, mereka menetapkan hokum bahwa dusta itu buruk dengan tiada mempergunakan fikiran, merendahkan pencuri dan menganggap pencuri iru jahat meskipun mereka tidak mempunyai pandnagan yang jauh apa yang dilihat dari penderitaan yang mengeani masyarakat sebab dusta dan pencurian itu. Dari keterangan diatas difahami bahwasanya penyelidikan etika tidak mempunyai praktek yang besar, bahkan ada yang mengatakan tidak mempunyai nilai sedikitpun.

2.Faham Hedonism
Berbeda dengan faham intuition, faham ini berpendapat bahwasanya pelajaran etika, sopan santun dan moral itu mempunyai pengaruh yang besar dalam praktek hidup, karena faham ini membatasi tujuan hidup yakni kebahagiaan seseorang, dengan demikian maksud penyelidikan ilmu adalah member penjelasan dan penerangan mengenai tujuan ini dan untuk menggambarkan jalan yang lebih terang dan singkat buat mencapainya. Misalnya bila seseorang bingung di antara dua perkara, maka hendaknya ia menghitung tentang kebahagiaan dan kepedihan untuk dirinya dan mempertimbangkan antara keduanya, apabila banyak manfaatnya maka baiklah ia, tetapi kalau banya kepedihannya maka buruklah ia, dan kalua seimbang antara kebahagiaan dan kepedihan maka ia bebas memilih diantara keduanya.
            Dari dua pendapat diatas terdapat perbedaan tentang ukuran etika, sebagian orang berpendapat bahwasanya penyelidikan etika hanya penyelidikan teori, tidak mengenai perbuatan, dan sebagian lagi berpendapat bahwa penyelidikan etika mempunyai buah praktek yang besar dalam hidup.
            Kalau kita telaah lebih jauh, bahwasanya manusia hidup dikelilingi oleh bayak undang-undang, misalnya undang-undang alam, undang-undang Negara, undang-undang etika dan sebagainya, yang mana undang-undang tersebut tidak akan berubah dan tidak dapat disalahi, menurut jalan satu, diketahui oleh manusia ataupun tidak, tak terkecuali undang-undnag etika, misalnya orang-orang sekarang berpendapat baik mengobati luka-luka musuh pada peperangan akan tetapi orang-orang dahulu beranggapan lebih baik memusnahkannya, walupun anggapan baik orang sekarang dan orang dahulu tidak sama, namun perhubungan baik antara sesama manusia tetap sama undang-undangnya.
            Dengan demikian secara ilmu pengetahuan adalah berguna sekali bagi seseorang untuk mengetahui undang-undang yang ada di sekelilingnya, dan dapat menjelaskan alat-alat yang menolongnya, melipat gandakan kekuatan yang ada padanya untuk meraih tujuan hidupnya yakni kebahagiaan.
            Hubungan antara akhlaq tasawuf dan filsafat-filsafat hidup ketuhanan terutama filsafat platinus, bahwa yang disebut budi tertinggi adalah mensucikan roh atau jiwa, sedangkan mensucikan roh dan jiwa itulah hakikat makna tasawuf,begitu juga halnya dengan hamper semua aliran filsafat membicarakan soal-soal tasawuf, sepeti apa yang dilakukan oleh Aristoteles yang mendasarkan pembahasan-pembahasan psikologisnya dan teori limpahan dan ilham.[2]
            Hidup kematerian. Sebelum menjadi sufi seorang calon harus terlebih dahulu menjadi zahid. Kebersihan dari dosa tak dapat pula tercapai tanpa meninggalkan kebutuhan-kebutuhan jasmani, dunia materi. Setelah bersih dari semua dosa maka seorang zahid tidak melihat Allah sebagai Tuhan yang ditakuti akan siksanya, tetapi sebagai Tuhan untuk mencari ketentraman jiwa.
            Tentang zuhud, Hasan Al-Basry mengatakan : “jauhilah dunia ini, karena ia adalah serupa dengan ular, licin pada perasaan tangan, tetapi racun membunuh.” Ibrahim ibn Adham, pada asalnya seorang anak raja dari Persia tetapi kemudian meningglakan kerajaan, karena sewaktu berburu ia mendengar suara mengatakan : “Kamu diadakan bukan untuk hidup senang”. Ia pergi mengembara. Salah-satu kata-katanya : “Tinggalkan dunia ini, cinta pada dunia membuat orang tuli serta buta juga menjadi budak.”
B . Tobat
            Tobat yang dimaksud dalam sufi adalah tobat yang sebenarnya-benarnya. Tobat yang tidak akan membawa kepada dosa lagi. Kadang kalau mau bertobat harus lebih dari 70 kali baru ia mencapai tingkatan tobat yang benar. Tobat dalam faham sufisme adalah lupa pada segala hal kecuali Tuhan. Menurut Al-Hujwairi : “orang yang tobat adalah orang yang cinta pada Allah, orang yang cinta pada Allah senantiasa mengadakan hubungan dan kontlempasi tentang Allah.
C . Wara’
            Kata ini mengandung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik. Dalam sufi berarti meninggalkan segala sesuatu yang masih mengandung unsure subhat. Tangan Bisri Al-Hafi tiap ada makanan di dalamnya terdapat subhat tak dapat diulurkan untuk mengambil makanan itu.
D . Kefakiran
            Tidak meminta lebih dari apa yang tealh ada pada diri kita. Tidak meminta rizqi kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta, sungguhpun tak ada pada diri kita kalau diberi diterima, tidak meminta tapi tak menolak.

E . Sabar
            Sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah, sabar dalam menjauhi segala larangannya dan dalam menerima segala cobaan-cobaan yang dititipkannya pada diri kita. Sabar menderita kesabaran. Tidak menunggu datangnya     pertolongan.
F . Tawakkal
            Menyerah pada qadlo’ dan putusan dari Allah. Tidak memikirkan hari esok, cukup dengan apa yang ada hari ini. Tidak mau makan karena ada orang yang lebih berhajat terhadap makanan itu dari padanya. Percaya pada janji Allah. Menyerah kepada Allah, dengan Allah, dank arena Allah. Bersikap sebagai telah mati.
G . Kerelaan
            Tidak berusaha menentang qadlo’ dan qadar Tuhan. Menerima qadlo’ dan qadar dengan hati senang. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana senang menerima hikmat. Tidak meminta syurga dari Allah dan tidak meminta supaya dijauhkan dari neraka.
            Tidak berusaha sebelumnya turun qalho’ dan qadar, setelah turunnya pun  tidak merasa sakit dan pahit, malahan merasa bergelora di waktu turunnya bala’ (cobaan).


[1] Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, Tintamas, Cet. 3, Jakarta, Hlm. 83.
[2] Ahmad hanfi, Pengantar Filsafat Islam,  Bulan Bintang, Jakarta, Cet. I. 1991, Hlm.98.

Read more…

PENGERTIAN AKHLAK TASAWUF DAN KEDUDUKANNYA DALAM AGAMA ISLAM

Oleh : Dr. KH. Kharisudin Aqib, M. Ag
A. Arti dan Pengertian Akhlak
Ibnu Maskawaih mengidentikkan antara akhlak dan karekter, keduanya adalah merupakan keadaan jiwa, demikian juga Imam Ghazali mengibaratkan akhlak sebagai gerak jiwa seseorang serta gambaran batinnya. Dari kedua pengertian yang diberikan oleh kedua pakar ilmu akhlak ini bahwa akhlak sebagai suatu aktifitas yang muncul dari dorongan jiwa dan gerak batin seseorang sehingga baik dan buruk karakter, kepribadian, sikap dan tingkah laku seseorang yang telah menjadi tabiat sehari-hari yang dikerjakan dengan kesadaran dan tanpa pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu berkait erat dengan jiwa dan batin seseorang, sehingga jelaslah bahwa akhlak merupakan bagian penting didalam ajaran agama, karena itu wajar kalau justru fungsi keseluruhan Nabi (pembawa agama) adalah untuk menyempurnakan akhlak, sebagaimana peringatan beliau:

Sesungguhnya Allah mengutus saya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia dan memperbaiki perbuatan yang baik.[1] 
            Karena keduanya (akhlak dan agama Islam) keduanya membahas dan mengupayakan bagaimana jiwa seseorang menjadi baik dan sempurna dengan membuahkan suatu pola piker, sikap dan tingkah laku (shaleh), dengan keharmonisan dan keselarasan yang sempurna tanpa adanya kamoplase penipuan, kemunafikan disharmonisasinya antara batin dan jiwa, dengan prilaku, misalnya hatinya baik perilakunya jelek, atau sebaliknya perilakunya baik tetapi keluar dari jiwa dan niatan batin yang jelek, baik karena kebodohan maupun karena kejelekan jiwa. Sehingga akhlak terkait erat dengan keimanan yang sama-sama berpangkal didalam hati seseorang bahkan menurut Nabi Muhammad orang yang terbaik keimanannya adalah orang yang baik akhlaknya (ketinggian budi pekerti yang muncul dari gerakan jiwa yang suci).
Seperti pernyataan Nabi :

Sempurna-sempurnanya iman seorang mukmin adalah yang terbaik akhlaknya.(HR. Tirmidzi). [2]

            Dalam bahasa agama (Islam) kata yang orang menyebut budi pekerti , perilaku, karakter dll, itu didalam islam diambil dari bahasa arab :


Yang kesemuanya berarti menciptakan, pencipta, ciptaan dan akhlak perilaku (untuk mencipta atau buah dari ciptaan). Sehingga dalam islalm yang disebut dengan akhlak tidak hanya mempunyai sasaran antara manusia dengan manusia, tetapi yang dimaksud akhlak mempunyai sasaran yang sangat luas, akhlak antara manusia dengan manusia, manusia dengan Al-Khaliq dan manusia dengan sesama makhluk selain manusia, termasuk binatang, tumbuhan dan lingkungannya.
B. Arti dan Pengertian Tasawuf
Tasawuf (sufi) adalah suatu kata istilah atau nama yang muncul jauh dari masa Nabi (2 abad) setelah Nabi, yang pertama kali dimunculkan oleh seorang zahid Abu Hasyim Al-Kufi (wafat 150 H),[3]  untuk suatu kelompok orang Islam yang mengkonsentrasikan dirinya pada kehidupan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat-dekatnya dengan berbagai cara dan upaya.
            Kata tasawuf berasal dari kata shuffah, yang menurut etimologi dengan pendekatan historis berasal dari kata ahli. Shuffah ialah orang-orang yang ikut pindah atau hijrah dengan Nabi dari Mekkah ke Madinah, dan karena hartanya ditinggalkan, mereka berada dalam kehidupan miskin dan tak mempunyai apa-apa.[4]  Mereka tinggal di masjid Nabi dengan selalu memakai pelana kuda”suffah” sebagai bantalnya sehingga disebut “Ahli Shuffah” adalah kelompok kaum muslimin yang miskin tetapi mereka berhati mulia, tidak mementingkan keduniaan, miskin tetapi berhati baik dan mulia, itulah sifat-sifat ahli shuffah yang dijadikan contoh orang sufi dikemudian hari . Ada juga yang mengatakan tasawuf atau sufi berasal dari kata shuf “           “yang berarti kain wool, karena para sahabat Nabi yang tinggal di masjid Nabi dan hanya mementingkan kehidupan kerohanian itu selalu mengenakan baju wol  kasar sebagai lambang kesederhanaan pada saat itu. Dan masih banyak lagi yang mencoba mengkait-kaitkan asal kata dan istilah tasawuf itu, tetapi yang jelas tasawuf berarti pokok hidup kerohanian Islam dan syari’at batin dalam ajaran Islam.
            Pada masa Nabilah mula pertama timbulnya embrio munculnya sufi sebagai suatu aliran keagamaan yang digambarkan dengan adanya kelompok ahlli shuffah di Masjid Nabi, yang mendapat restu dari Nabi bahkan Nabi sendiri dan hamper semua sahabaat dekat Nabi memberikan contoh-contoh kehidupan kerohanian yang sangat tinggi, berpola hidup sederhana atau bahkan miskin dan senantiasa memperbanyak ibadah dan muraqabah serta mujahadah-mujahadah yang sangat serius, dengan shalat, dzikir dan membaca Al-qur’an serta berpuasa disamping tidak pernah dari semangat jihad dan dakwah.
C. Keterikatan Antara Akhlak dan Tasawuf
Antara akhlak dan tasawuf adalah bagaikan api dengan asapnya yang masing- 
masing tidak dapat berdiri sendiri, keduanya mempunyai obyek kajian hati dan jiwa seseorang. Bahkan Al-Ghozali memberikan pengertian tentang bentuk ilmu akhlak sebagai ilmu sifat haati dan ilmu rahasia hubungan keagamaan yang kemudian menjadi pedoman untuk akhlaknya orang-orang baik. Al-Ghozali lebih menitik beratkan masalah hlak itu untuk pedoman orang-orang sholeh (ahli thariqat) dan harus disesuaikan dengan ajaran-ajaran syari’at Islam, seperti yang digariskan oleh para fuqaha, sehingga ilmu tersebut lebih popular di kalangan umat Islam menjadi ilmu tasawuf. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa akhlaknya orang mukmin itu adalah tasawuf, suatu etika yang terkonsentrasikan pada Allah semata dengan keterlibatan hati dan jiwa secara utuh.
            Akhlak tasawuf atau akhlak dan tasawuf ini timbul pada diri seseorang karena kesadaran dan keterpanggilan jiwa, yang mungkin terjadi sebagai reaksi banyak hal :
mungkin karena membaca dan melagukan Al-qur’an, mungkin dari tafakur, semedi dan membaca beberapa Hadits, atau mencontoh perbuatan sahabat-sahabat utama dan pengaruh keadaan sekeliling. Waktu permulaan timbulnya tasawuf  belumlah menjadi suatu ilmu yang teratur atau filsafat yang sistimatik, sebelum abad ketiga nama tasawuf belumlah dikenal, barulah yang dikenal istilah suhud atau abid atau fakir atau nasik.
D.Kedudukan Akhlak Tasawuf Dalam Agama Islam
Secara garis besar Agama Islam terdiri dari tiga dimensi ajaran, yaitu : iman, Islam, ihsan. Sebagaimana hadits dari Umar bin Khattab tentang peristiwa dialog yang terjadi antara Nabi dengan Jibril yang menyamar sebagai seorang manusia yang datang kala Nabi sedang mengajar para sahabat dan bertanya tentang Iman, Islam dan Ihsan, maka Nabi Menjawab tentang ihsan :


            Ihsan adalah jika engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat Allah dan jika engkau tidak mampu melihat Allah maka sesungguhnya Allah melihatMu. (HR. Bukhari – Muslim). [5]
            Ihsan berarti ma’rifat kepada Allah, menyaksikan keberadaan Allah di dalam setiap keadaan dengan pandangan yang yakin, dengan pengetahuan yang yakin dan hakikat kenyakinan. Allah memerintahkan agar manusia mendapatkan kenyakinan yang benar dengan jalan senantiasa beribadah kepada Allah:


            “Dan beribadahlah engkau sehingga dating kepada keyakinan”. (QS. 15: 99).
            Dan orang yang faham akan keberadaan dirinya dan keberadaan Tuhannya, maka dia akan memiliki akhlak yang baik kepada dirinya dan kepada Tuhannya. Keberadaan dan kedudukan tasawuf dalam ajaran Islam  sama dengan keberadaan ihsan dalam tiga dimensi bangunana agama islam atau setidak-tidaknya merupakan ilmu pendukung kea rah keberhasilan memiliki kwalitas keihsanan seseorang dalam ajaran agama islam.
            Agar dapat memiliki iman yang benar maka seseorang harus mempelajari ilmu aqidah atau tauhid, dan agar seseorang dapat melaksanakan ajaran islam yang benar maka seseorang harus mempelajari syari’at secara baik dan jika seseorang ingin menjadi seorang muhsin (berperilaku ihsan) maka seseorang harus memasuki dan belajar tasawuf, karena tasawuf adalah ilmu dan amaliyah dalam upaya ma’rifat kepada Allah dengan senantiasa menjaga akhlak kepada Allah yang sebaik-baiknya. Dan ketiga unsure serta dimensi agama Islam itulah yang disebut Islam itu sendiri, tidak dapat dipisah-pisahkan.


[1] H. Bet Arifin a Yunus Ali Muhdhor (Pentj.), Riwayat Hidup Rasulullah, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1989, Hlm. 493.
[2] Salim Bahreisy (Pentj.), Riyadlush Sholihin, Al-ma’arif, Bandung, Hlm. 511.
[3] Abu Bakar Aceh, Pengantar Sejarah Sufi Tasawuf, CV. Romadhoni, Solo, 1990, Hlm. 53.
[4] Harun Nasution, Filsafat dan Miastitisme Dalam Islam, BulanBintang, Jakarta, 1973, Hlm. 57.
[5] Ismail Yakub, TK., (Pentj.), Ihya’ Al-Ghazali, CV., Faizan, Jakarta, Jil. V, Hlm. 16.
Read more…

SHOLAWAT ULUL ALBAB